Sebuah tulisan untuk Mata Kuliah Penulisan Populer
Kedatangan bus yang hanya beberapa
jam sekali di dusun tua itu disambut dengan kepak sayap yang terdengar menjauhi
pohon-pohon besar di sudut kanan jalan. Penumpangnya nyaris tidak ada, seorang
yang tersisa baru saja turun dengan langkah kaki yang berat pada sepatu kulit
hitamnya. Matahari sudah nyaris tidak menampakkan diri, tapi cahaya lampu masih
berpendar dari kota yang baru saja dia tinggalkan di belakang. Pemuda itu mendongak.
Bahkan bulan enggan menampakkan diri untuk sekadar menemani. Pada tanda
pengenal yang terjepit di dada kiri kemejanya tercetak nama, namun jaket lebar
yang dikenakannya menutupi sebagian besar tulisan tersebut.
Petak-petak tanah yang tersekat oleh
rerumputan liar terlihat amat kering dalam pandangan pemuda itu. Langkahnya semakin
melambat, seiring dengan semakin erat genggaman tangannya pada tas jinjing
berwarna pucat yang dibawanya sejak pagi. Isinya sederhana, dompet, koran, beberapa
dokumen pekerjaan, senter kecil dan sekantung permen. Masih terngiang di
telinganya cemoohan para rekan kerjanya ketika mencegah pemuda itu membawa tas
besar dengan persiapan penuh pada malam sebelumnya.
“Di sana tidak ada apa-apa, Gon…
Kalau kamu ragu, seharusnya kamu menolak tawaran pejabat itu untuk
mengobservasinya pada malam hari. Er—hei! Dia tidak perlu membawa itu! Jangan
buat orang semuda dia mempercayai takhayul semacam itu,” Rara memutar bola
matanya yang kecokelatan, sambil berdecak memperhatikan benda-benda konyol yang
nyaris dimasukkan ke dalam tas Gon oleh teman-temannya. Melihat wajah Gon yang
masih berusaha meneliti kalender di atas meja kerjanya yang tertata rapi,
mencari-cari barangkali ada hari kosong, si sekretaris itu menambahkan lagi, “Kau
tetap harus pergi. Surat permintaan transaksi itu sudah mencantumkan jumlah
yang hebat untuk kelangsungan perusahaan ini. Kau juga sudah menyetujuinya. Tanggung
sendiri akibatnya sekarang. Pokoknya aku sudah memenuhi jadwalmu hingga satu
setengah bulan ke depan. Tidak ada waktu lagi!”
Gon menghembuskan napasnya dengan
berat. Dia berhenti sejenak, bermandikan cahaya jingga yang temaram dari lampu
jalanan yang kelihatannya sudah berusia puluhan tahun di atas kepalanya.
Merapikan penampilannya sebentar sebelum menjumpai sebuah rumah besar bergaya
barat yang menanti di ujung jalan ini. Gon menyentuh jaket tua berwarna cokelat
tanah yang sudah lusuh menemaninya seharian—aduh, warnanya jadi merah sekarang
gara-gara lampu tua ini. Sama sekali tidak sesuai dengan seleranya. Udara
semakin terasa dingin, menusuk-nusuk hingga ke tulang. Gon merapatkan jaketnya,
sedikit menggigil. Setelah merapikan rambutnya yang belum tersentuh sisir sejak
siang hari tadi, dia melanjutkan perjalanan dengan tatapan yang tidak bisa
terpusat pada langkahnya.
Berbeda sekali. Jauh berbeda dari
rumah-rumah penduduk dusun yang terbuat sederhana dari kayu atau semen usang
yang dilewatinya tadi. Rumah besar di hadapannya terlihat memancarkan
sinar-sinar lampu yang berlainan warnanya. Hanya beberapa jendela di lantai dua
yang terlihat bercahaya putih, yang lainnya memendarkan cahaya kuning yang
lembut lewat teralis-teralis berwarna putih pucat yang membingkai jendelanya.
Adapun, dinding rumah yang tidak dilapisi cat itu terlihat gelap. Batu bata
merah yang terangkai dengan cermat terlihat pecah di sana-sini. Bisa jadi
disebabkan oleh batu-batu hitam kasar yang berserakan di sekitarnya, sebab
jelas sekali batu-batu itu bukan bagian dari penataan halaman rumah ini.
Pohon-pohon berbatang lurus dan
tinggi terlihat memenuhi sisi jalan, daun-daunnya yang bergemerisik tertiup
angin menutupi sebagian pandangan di atas kepala Gon dari melihat bentuk atap
rumah itu. Mencolok sekali ada rumah sebesar ini di sebuah dusun pinggiran yang
nyaris dilupakan orang. Seharusnya sudah dari tahun kemarin seseorang
menawarkannya ke kantor! Satu hal yang pasti, rumah ini berusia—mungkin—ratusan
tahun, harganya akan sangat membutuhkan pertimbangan dari seluruh rekan
kantornya pekan depan. Atau tidak sama sekali. Gon bisa saja meninggalkan rumah
ini di tangan pemiliknya tanpa repot-repot menantang dirinya lagi seperti ini.
Mendatangi rumah tua pada malam terdingin yang pernah dirasakannya!
Gon merasa lega lampu kecil di sisi
pagar rumah ini masih berfungsi dengan baik. Dia sudah menelepon sebelumnya,
maka dengan hati-hati dia mendorong pagar kayu lapuk di depannya untuk masuk.
Derit suara yang ditimbulkan pagar itu tidak membuatnya takut. Oh, tidak, dia
lebih mencemaskan reaksinya ketika bertatap muka dengan sang pemilik. Kantornya
yang bergaya modern dengan nuansa cerah saja seolah menjadi sendu ketika surat-surat
yang dibarengi paket bunga krisan memasuki ruangannya. Surat-surat yang
memintanya berdialog dengan pemilik rumah agar menukarkan kemegahan ini dengan
sejumlah uang. Padahal itu bunga yang indah! Gon membayangkan penolakan yang
akan dilayangkan pemiliknya. Dia akan memasuki sarang, apa yang mungkin
terjadi? Tidak bisa terbayang, tepatnya
dia tidak ingin membayangkannya. Klien yang meminta transaksi ini adalah
seorang yang amat berpengaruh. Bagi dirinya, usaha kantornya, bahkan bagi
pemilik rumah itu sekalipun! Kehancuran akan melanda siapa saja yang berani
menghalanginya. Rekan-rekan kerjanya sudah menyetujui keputusannya. Atasannya
bahkan memaksanya. Pegawai muda macam Gon tidak akan mengambil resiko
kehilangan semua hal itu demi membela sebuah rumah tua.
Gon mengangguk patuh. Dia berjalan
dengan sigap dan tiba di depan sebuah pintu jati yang masih terlihat kuat untuk
ditabrak mobil sekalipun. Sedikit berdeham, kemudian digerakkannya tangannya
mengayunkan pengetuk pintu berukiran –entahlah. Mungkin Tengu, hanya saja
hidungnya tidak sepanjang itu.
Pintu dibuka tanpa suara oleh
seorang lelaki setengah baya yang mengenakan pakaian pelayan tradisional.
Setiap helai rambutnya berwarna putih, matanya yang kecil dan tajam terlihat
mengamati Gon dengan seksama. Dia mengucapkan selamat datang dan mempersilahkan
tamunya masuk ke sebuah aula besar. Dari suaranya, Gon mengenali bahwa pelayan
inilah yang selalu menjawab telepon setiap kali dia menyepakati perjanjian
dengan pihak pemilik rumah.
Gon menyusun pendapatnya sendiri mengenai
aula ini saat memasukinya. Sunyi. Itu yang paling mudah untuk dikatakannya.
Tidak ada perabotan rumit yang menghiasinya, hanya beberapa meja dengan ukiran
menghiasi setiap kakinya, beberapa wadah besar yang ditutup rapat di
sudut-sudut ruangan, satu pot berisi setangkai rumput kering, juga sebuah lampu
gantung yang terlihat memantulkan cahaya pada kaca-kacanya yang rapuh. Lampu
itu tidak menyala. Bau debu menjumpai indera penciumannya. Semua yang ada di
sini benar-benar tua, tapi cukup berharga. Benda yang paling menarik
perhatiannya adalah sebuah bingkai emas raksasa yang sudah nyaris tertutup
seluruhnya oleh debu, bahkan sedikit sarang laba-laba, tidak jelas siapa yang
terlukis di sana. Gon menaksir harganya. Bingkai itu terpasang dengan megah di
dinding yang kosong, menjadi pusat dari aula yang mungkin dapat menampung lebih
dari lima puluh orang ini.
Derit yang dihasilkan oleh daun
pintu yang dibukakan si pelayan mengalihkan Gon dari memandangi lukisan itu
lebih lanjut. Pemuda itu menelan ludah, kemudian mengikuti si pelayan memasuki
sebuah ruangan yang –astaga, apa mereka kehabisan minyak tanah untuk lampunya?
Kedua mata Gon yang berwarna hitam cemerlang dibukanya lebar-lebar, berusaha
menatap. Itu dia. Hawa dingin pada kamar ini menyiratkan seolah semua
jendelanya telah dibuka lebar-lebar, membiarkan udara malam yang berkabut untuk
masuk dan melingkupi seluruh perabotannya seolah tidak ada seorangpun manusia
akan berdiam di sana, tapi itu dia.
Di antara beberapa kursi tua dengan
pola ukir yang sama dengan meja dan dindingnya, tampak menonjol sekali sebuah
kursi raksasa, lebih besar dan lebih rumit, serta lebih bersih dibandingkan
kursi lainnya. Adapun, kursi ini tidak terlihat lebih hidup meskipun di atasnya
duduk seorang perempuan berusia setengah baya, dengan tubuh jangkung yang
dilapisi mantel abu-abu dan sepasang sandal yang sama sekali tidak terlihat
manis. Matanya yang berwarna kelabu menyipit di atas lekuk senyumnya yang tidak
wajar, tidak bagi Gon, dan memberinya
pandangan sinis langsung menembus kepala tamunya yang berdiri mematung.
Perempuan tua itu mengangkat tangannya sekilas, mempersilahkan Gon untuk duduk
sebelum mengembalikan posisi tangannya ke lengan kursinya seperti semula.
Selain itu, dia tidak menggerakkan anggota tubuhnya sama sekali. Jangankan
berdiri untuk menyalami tamu, rambut kelabu yang terjuntai di atas bahunya saja
tidak terlihat menganggu perhatiannya.
Gon duduk, dia mengeluarkan
berkas-berkas yang sudah disusunnya dengan rapi dalam sebuah map bening dari
tas. Di dekat sikunya, si pelayan meletakkan secangkir kopi hitam. Gon tidak
akan menyadarinya seandainya saja aroma kopi itu tidak begitu menusuk hidung.
Dia sudah bersiap menghadapi reaksi
apapun. Sebagian perjanjiannya telah disepakatinya lewat telepon, Gon hanya
perlu memastikannya sekarang dan meminta pernyataan persetujuan secara jelas
dan tertulis, hitam di atas putih. Dengan cermat dan hati-hati Gon mulai
bicara, menjelaskan alur prosedur perjanjian yang sudah disepakati sebelumnya.
Waktu seolah berjalan lama sekali
bagi lidah Gon yang terus bicara dengan gaya bahasa yang sopan dan sedikit
mendesak. Nyonya rumah itu tidak terlihat mendengarkannya, tapi kepalanya
bergerak sedikit—Gon sadar itu dimaksudkan sebagai anggukan beberapa saat
kemudian—tanda setuju.
Oh, benarkah? Ini berarti besar
baginya!
Maka Gon tidak membuang-buang waktu
untuk mengulangi penyataannya. Dia mengambil pena dan dengan tekun menulis
pernyataan-pernyataan pada beberapa lembaran kertas berwarna biru dan hijau
sementara pelayan tua di sampingnya membubuhkan cap keluarga –sudah lama sekali
Gon tidak melihat tanda terima semacam itu—dan menyerahkan kopiannya pada
nyonya rumah.
“Di sana,” suara yang keluar dari
sepasang bibir tipis itu terdengar lirih, seperti berbisik. “Anda bisa keluar
dari pintu kebun. Ikutilah jalan setapak dari pintu itu.”
Pandangan Gon mengikuti arah
lambaian tangan nyonya rumah, kemudian dia mengernyit. Jendela? Itu lebih
pantas dikatakan jendela daripada pintu! Tetap saja dia membereskan dokumennya
dan melangkah di belakang si pelayan dengan kepatuhan seekor anak ayam
mengikuti induknya.
Tanpa disadarinya, nyonya rumah dan
pelayannya memperhatikan kepergian anak muda yang membawa berkas-berkas
transaksi itu dari balik jeruji jendela. Wajah keduanya tidak terlihat senang.
Keluar dari pintu semen berukiran
unik yang terlihat belum termakan usia, Gon menemui sebuah taman yang sudah
usang sekali. Begitu berbeda dengan halaman depan rumah yang terihat ditata
rapi, taman ini terlihat seperti tidak pernah dirawat dengan baik, bahkan dia
akan ragu apakah ada manusia yang pernah menyentuhnya kalau saja dia tidak baru
berjumpa dengan pemilik rumah. Baunya aneh, seperti hutan belantara tanpa
sentuhan kesegaran alam. Amis pula. Pokoknya, urusan ini sudah selesai. Rumah
ini akan segera diberikan kepada pemilik baru yang pasti akan menyulapnya
menjadi tempat mewah—jauh lebih baik dari ini.
Gon menelusuri jalan berbatu yang
rusak termakan cuaca dan hewan liar, kemudian dia sampai pada jalan raya tempat
ia turun dari bus beberapa jam lalu. Bagus, bus baru akan datang setengah jam
lagi. Gon mendecakkan lidahnya dan menoleh ke kanan-kiri. Udara terlalu dingin
untuknya berdiam diri di sana. Maka diputuskannya untuk berjalan, setidaknya
hingga sampai pada halte bus selanjutnya saja agar dia bergerak dan mendapat
sedikit kehangatan pada tubuhnya.
Telinganya seperti menangkap suara
gemerisik yang tidak wajar. Tidak mungkin nyonya itu lupa untuk menghadiahinya
serangkai bunga kamboja dan menyuruh pelayan tua itu menyusulnya, kan? Dengan
malas Gon menoleh ke belakang, mencoba mencari-cari bayang-bayang rumah besar
yang ditinggalkannya tadi di antara kabut. Ah, itu dia. Tidak ada yang aneh…
Hanya lampu jalan itu saja yang mulai meredup cahayanya dan—
Seluruh lampu di sekitarnya padam.
Dusun tua itu tiba-tiba menjadi
gelap gulita dengan matinya lampu-lampu di sana. Mati listrik? Tidak aneh untuk
sebuah dusun yang sepi dari pengunjung, bahkan tidak terdengar kepanikan sama
sekali dari rumah-rumah penduduk yang menutup pintu dan jendelanya rapat-rapat.
Gon mengerjapkan matanya. Kabut ini seperti mengelilinginya dan mencekamnya
dengan hawa dingin yang luar biasa. Matanya belum terbiasa dengan gelap dan
penciumannya menangkap bau minyak. Kepalanya menjadi pusing. Dia kesulitan
mengambil langkah dan kemudian terjatuh.
“Aduh,” serta merta anak muda itu
mengumpulkan kembali isi tasnya yang berhamburan ke jalan. Dibantu oleh senter
yang ditemukannya pertama kali, dia menyusun kembali berkas-berkas rumah tua
tadi. Sambil menggerutu, pikirannya berputar ke mana-mana. Tiba-tiba dia
membelalakkan matanya dan merapatkan jemarinya pada lembaran kertas yang sudah
dirapikan itu. Cap tanda terima yang dibubuhkan pada suratnya tersamarkan oleh
lumpur!
Baru disadarinya bahwa wajahnya pun
kotor belepotan lumpur saat ia jatuh tadi. Rumput liar di sekitarnya basah,
bebatuannya pun lebih berantakan dari yang dia amati sebelumnya. Genangan di
sana sini terlihat pada saat cahaya senter menyoroti sekitarnya. Gon sama
sekali tidak merasa hujan turun sore hari ini. Lagipula ini bukan bau hujan
yang mengguyur tanah. Sepertinya dia terlalu fokus pada pekerjaannya, bahkan dia baru merasakan tubuhnya kuyup!
Jatuh ke mana dia tadi? Gon bangkit dan berpikir.
Gawat, dia harus menyusun kembali
perjanjian dengan tuan tanahnya. Noda samar seperti ini tidak akan berhasil jika
dibawa kepada rekan-rekannya, apalagi kepada kliennya! Dia harus kembali. Yah,
nanti. Pada saat dia punya waktu lagi. Kapan? Gon menoleh ke arah rumah itu
lagi dan—matanya tersilaukan, dia tidak percaya!—mendapati kobaran api telah
melahap bangunan yang baru saja ditinggalkannya itu.
Lemas, pemuda itu membiarkan
berkasnya berserakan kembali. Terbayang di matanya sebuah keruntuhan. Perjanjiannya
habis sudah.