Beragam masalah timbul akibat sekularisasi dan menimbulkan banyak
kekeliruan di kalangan masyarakat, termasuk umat muslim. Penting untuk
diketahui bahwa masalah-masalah ini muncul disebabkan oleh masuknya cara-cara
Barat dalam berpikir, menilai, dan meyakini sesuatu, pada masyarakat kita. Oleh
karena itu, penting pula bagi kita memahami dasar pengertian mengenai hal-hal
semacam ini.
Secular, yang berasal dari bahasa Latin saeculum,
mengandung suatu makna yang ditandai dengan dua pengertian yaitu waktu dan
ruang. Sekular dalam pengertian waktu merujuk kepada ‘sekarang’ atau ‘masa
kini’, sedang dalam pengertian ruangmerujuk pada ‘dunia’ atau ‘duniawi’. Karena
itu, saeculum bermakna ‘zaman ini’ atau ‘masa kini’ yang juga merujuk
pada ‘peristiwa-peristiwa masa kini’. Tekanan makna pada istilah ini diletakkan
pada suatu waktu tertentu di dunia yang dipandang sebagai proses sejarah.
Konsep sekular merujuk pada keadaan dunia pada waktu, tempo atau zaman ini.
Sekularisasi didefinisikan sebagai pembebasan manusia ‘pertama dari
kungkungan agama agama dan kemudian dari kungkungan metafisika yang mengatur
akal dan bahasanya.’ (1965:2). Sekularisasi tidak hanya meliputi aspek-aspek
sosial dan politik dalam kehidupan manusia, tetapi juga tentunya meliputi aspek
kebudayaan, karena sekularisasi bermakna ‘hilangnya pengaruh agama daripada
simbol-simbol kebudayaan’.
Bagian-bagian
utama dari dimensi sekularisasi adalah ‘penghilangan pesona dari alam tabi’i’
(disenchantment of nature), peniadaan kesucian dan agama dari politik (disacralization
of politics) dan penghapusan kesucian dan kemutlakan nilai-nilai agama dari
kehidupan (deconsecration of values). Maka sekularisasi dan sekularisme
adalah dua hal yang berbeda. Sekularisasi berada dalam suatu proses yang
berkelanjutan dan terbuka (open-ended), di mana nilai-nilai dan
pandangan alam (worldview) secara terus menerus diperbaharui sesuai
dengan sejarah yang berevolusi. Adapun sekularisme, seperti agama, menayangkan
pandangan alam yang tertutup dan faham nilai yang mutlak sesuai dengan adanya
maksud akhir sejarah yang menentukan hakikat manusia. Maka, sekularisme memberi
maksud sebuah ideologi
Adapun meskipun ia sama
dengan sekularisasi dalam hal menghilangkan pesona dari alam tabii, sekularisme
tidak pernah menghapus kesucian dan kemutlakan nilai-nilai karena ia membentuk
sistem nilainya sendiri dengan maksud supaya dipandang mutlak dan tidak
berubah. Jadi, sekularisme tidak seperti sekularisasi yang menisbikan semua
nilai dan menghasilkan keterbukaan dan kebebasan yang perlu bagi tindakan
manusia dan untuk sejarah. Karena itulah, ada yang menganggap sekularisme
merupakan bentuk ancaman terhadap sekularisasi sehingga sekularisme selalu
didesak dan dikekang agar tidak menyebar menjadi ideologi di suatu negara.
Definisi sekularisasi yang menggambarkan hakikat sebenarnya kepada
pemahaman kita sangat berhubungan dengan apa yang terjadi dalam kehidupan
spiritual, intelektual, rasional, jasmaniah dan material manusia Barat, serta
kebudayaan dan peradaban mereka. Akar sekularisasi bukan dalam kepercayaan akan
Injil, melainkan dalam tafsiran manunsia Barat terhadap kepercayaaan kitab
tersebut. Yaitu ia berakar pada hasil sejarah panjang perseteruan dala filsafat
dan metafisika antara pandangan alam (worldview) manusia Barat yang berdasarkan
agama dengan yang rasionalis murni. Kesalingtergantungan antara tafsir Injil
dan pandangan alam Barat ini berjalan dengan sejarah, dan dilihat sebagai suatu
pembangunan.
Dalam pembahasan mengenai sekularisasi, pembahasan agama tidak akan
terelakkan. Sebab, agama merupakan unsur dasar dalam kehidupan dan eksistensi
manusia, sedangkan sekularisasi muncul seolah untuk menentang agama. Agama
diartikan dalam konteks historis dan keyakinan yang bersifat samar, kemudian
mereka menerima definisi yang sebenarnya berasal dari otoritas sekular yang
telah membudaya. Menurut mereka, agama merupakan sistem kepercayaan, amalan,
sikap, nilai, dan cita-cita yang tercipta dalam sejarah dan konfrontasi manusia
dengan alam, yang berevolusi dalam sejarah dan melalui proses perkembangan,
seperti halnya manusia yang mengalami proses yang sama. Dari sini dapat
dilihat, bahwa mereka berpendapat bahwa agama memerlukan perkembangan, seolah
agama tidak pernah sempurna sebelumnya. Hal ini berlawanan dengan ajaran Islam
yang telah sempurna semasa Rasulullah saw. menyampaikannya. Perlu diingat bahwa
Islam selalu sesuai dengan kondisi zaman, Al-Qur’an dapat dimengerti oleh
mereka yang menyukai pembuktian ilmiah ataupun mereka yang mengerti dengan
kesederhanaan.
Sekularisasi sebagaimana yang didefinisikan golongan Barat,
dipandang oleh para penganut teisme di antara mereka sebagai suatu masalah
serius bagi agama. Sekularisasi sebagai suatu keseluruhan tidak hanya merupakan
pernyataan dari pandangan alam yang
tidak islami, tetapi juga berlawanan dengan Islam.
Kerana Islam merupakan agama yang melewati pengaruh evolusi dan
kesejarahan manusia, maka nilai-nilai yang dikandung di dalam Islam bersifat
mutlak. Karena itu, Isla memiliki pandangannya yang tersendiri mengenai Tuhan,
alam semesta, realitas, dan manusia. Keseluruhan pandangan inipun bersifat
mutlak. Islam juga memiliki penafsiran yang tersendiri terhadap realitas, baik
dari sudut ontologi, kosmologi atau psikologi.
Islam memiliki pandangan
alam (worldview) dan pandangannya yang tersendiri mengenai Hari Akhirat.
Oleh karena itu, Islam menolak secara keseluruhan konsep ‘penghapusan kesucian
dan kemutlakan nilai-nilai agam dari kehidupan’ (deconsecration of values),
jika diartikan dengan menisbikan semua nilai yang terus-menerus muncul dalam
sejarah seperti yang dimaksud dalam sekularisasi. Islam menolak penerapan
apapun dalam konsep sekular, sekularisasi atau sekularisme dalam dirinya,
karena ketiganya bukanlah milik Islam, melainkan hanya suatu hal yang asing
dilihat dari manapun. Sebab konsep-konsep semacam itu hanya cocok dan dalam
konteks sejarah intelektual Kristen dan Barat.
Kristen dan Barat seringkali sangat bersandar pada teori-teori dari
filsuf-filsif mereka, ahli metafisika, scientist, paleontolog. Antropolog, dan
sebagainya. Sedagkan Islam tidak seperti itu. Kebanyakan kaum Kristen-Barat
jarang dan bahkan mungkin tidak pernah mengamalkan kehidupan beragama, serta
selalu bersikap skeptis, ragu dan terlalu ‘kritis’ hingga tak tertolong lagi.
Ketika Aristoteles memperkenalkan filsafat Yunani kepada dunia
Romawi di mana Kristen kemudian merumuskan dan membentuk dirinya sebagai agama
Kekaisaran Romawi dan dunia Barat, rasionalisme murni ini beserta naturalismenya
melucuti alam tabii dari makna spiritualnya, sehingga kemudian alam hanya dapat
dikenali dan dimengerti oleh akal manusia, yang mana merupakan salah satu fator
kuat dalam penafsiran pandangan alam (worldview) dalam ajaran Romawi.
Sebenarnya pastilah masih ada filsuf dan ilmu-ilmu filsafat lain
yang mengakui kepentingan spiritual dan perenungan intelektualisme atau
metafisika dan sebagainya dalam dunia Yunani dan Romawi, juga di berbagai
penjuru dunia lainnya, namun konsep-konsep yag dikemukakan Aristoteles inilah
yang memegang pengaruh paling besar, sehingga ketika agama Kristen muncul ke
muka umum, rasionalisme murni dan naturalisme telah menguasai pikiran dan
kehidupan orang-orang Latin.
Apa yang dianggap rasional oleh Islam tidak semata-mata berkaitan
dengan sistematika fikiran dan
penafsiran logis mengenai fakta-fakta pengalaman. Karena akal rasional adalah
suatu penayangan bagi akal pikiran, maka ia bekerja sesuai dengan akal pikiran,
yang merupakan suatu substansi spiritual dan menjadi bagian dari organ
spiritual yang dikenal sebagai hati.
Dengan demikian, teolog-teolog Barat telah membuat perbedaan penting
antara sekularisasi dan sekularisme, di mana sekularisme adalah nama yang
merujuk bukan pada suatu proses, tetapi hasil akhir dari proses sekularisasi ke
dalam bentuk tertentu dan khusus, yaitu suatu ideologi. Dan ini tergantung dari
bagaimana kita melihat ideologi itu sendiri. Sedangkan, mereka memberikan
penafsiran bahwa tidak setiap isme adalah suatu ideologi, karena ia bergantung
kepada istilah yang diakhiri dengan isme itu sendiri. Jika isme menjadi akhiran
dari kata sekular, kapital, sosial, atau nihil, maka dalam pengertian ini
menunjukkan suatu ideologi. Tetapi apabila isme berada di akhir kata real atau
rasional, maka bukan pengertian sebagai ideologi yang diberikannya di sini.
Maka penggunaan kata seperti demikian perlu kita carmati dengan baik.
Sekularisme ataupun sekularisasi, meskipun berbeda pada pandangan
alam yang terbuka atau tertutup dan beberapa hal lainnya yang sebenarnya tidak begitu
berarti, keduanya tetap memiliki pandangan yang berbeda dengan Islam, sehingga
menunjukkan pertentangan kepada Islam. Meskipun ahli teologi mengatakan bahwa
sekularisasi berasal dari dalam kepercayaan Injil dan sekularisme berasal dari
dalam filsafat dan sains Barat, keduanya tidak jauh berbeda, bahkan dapat
dikatakan keduanya sama karena berasal dari akar yang sama, yaitu filsafat,
sains, dan metafisika Barat. Maka, istilah sekularisme tidak hanya merujuk pada
ideologi-ideologi sekular, tapi juga mencakup seluruh pernyataan pandangan alam
sekular termasuk yang diberikan oleh sekularisasi, yang tidak lain merupakan
relativisme historis sekular yang disebutkan oleh penulis sebagai
sekularisasionisme.
29 Mei 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar