Kamis, 27 September 2012

Pembunuh


Mimpi buruk.
Aku bahkan tidak tahu warna apa yang diperlihatkan sang dewa api. Kakiku berjalan tak tentu arah di atara hiruk pikuk manusa, penjaja. Mereka mengucap kata yang sama, kalimat yang sama. Dan sesekali melati terduduk terbujuk. Sedang mawar, terdiam memperhatikan, barangkali tak mengerti. Telinga pun bosan, mata lelah mencari. Ah.. Tetap dia yang protes, meminta lidah untuk mengumpat.
Sesak... Keramaian yang mengkungkung tanpa celah.
Gulungan putih bertebaran, tak beraturan. Si hitam jantan tergoda untuk meleburkannya, tapi aku tetap memaksanya berjalan. Toh mereka tak lagi menyala. Lagipula tidak ada yang sekesal dia, yang masih meminta lidah bicara.
Hiruk pikuk yang lembut sebenarnya, hanya tertutup kebosanan akan rutinitas. Sesederhana melati, mereka tetap tertawa. Melompat dari satu kotak ke kotak lainnya. Seakan terbiasa.
Senang, walau miris, tapi masih sesak...
Mimpi buruk. Hiruk pikuk anank-anak abu-abu meramaikan gerbong. Tawa yang seperti hantu, entah pengaruh tepung mana lagi...
Nyala itu, muncul lagi. Meski bulan telah menemani. Bukan, justru karena itu mereka semakin menyala. Hiruk pikuk beralaskan sneakers, terburu memanjati jendela. Aku tak keberatan.
Tuhan, hanya ada satu yang kukesalkan. Bahkan ketika tawa hantu itu terdengar kembali, aku hanya tertawa. Senyum di wajah pak tua sanggup mengalihkanku dari himpitan hitam reebook. Tak duduk pun aku tak apa, tergantung pun aku tak keberatan. Hanya satu, Tuhan, dalam kegelapan malam dan kekurangan cahaya gerbong, yang aku inginkan. Nyala itu. Aku tak apa tak mendapat cahaya, tapi kumohon jangan nyala itu yang ada. Tuhan, diri ini sesak. Dari hiruk pikuk komunikasi hingga hiruk pikuk anak gerbong. Aku tak apa, Tuhan, untuk berdiri dihimpit atau berjala tanpa henti. Hanya satu..
Kebulan yang mampu membuatku mati pelan-pelan itu, Tuhan, enyahkan dia.
_Stasiun Kalibata, 14April 2011, 20.00

Sabtu, 01 September 2012

Peminta

Detak.

Ah, sudah sejak dulu ia berdetak. Jika tidak, aku tidak membuka mataku sekarang.
Jadi kenapa?
Apa? Aku hanya merasa sesak sesaat, itu saja.
Jangan kau tanyakan lalu bagaimana, aku tidak tahu.
Mataku membelalak setiap kali melihatnya bicara, sebab ia tidak bicara denganku.
Apa? Oh, ya, aku mungkin terlalu terlena menatapnya.
Tak terbayangkan olehku bahwa aku bisa menemui orang yang sepertinya dalam hidupku.
Hidupku yang begini singkat, yang seringkali kukeluhkan.
Melihatnya, aku khawatir apakah hidupku lebih singkat dari yang kukira, ataukah lamanya kehidupan kemarin tidak kugunakan dengan baik?
Mungkin kau tidak mengerti apa yang kubicarakan, aku hanya kesulitan memutuskan.
Saat ia duduk di sampingku, kukira ia hanya sekedar pendatang.
Dan sekarang aku hampir-hampir menyesal membiarkannya berlaku demikian.
Kau tahu kenapa?
Ia membuatku berpikir dua kali. Ia membuatku berpikir berkali-kali.
Ia membuatku ragu apakah yang kulakukan adalah suatu perbuatan baik,
ataukah aku ini terlalu bodoh hingga ia bisa berlaku seenaknya padaku.
Tak banyak yang ia minta, kukira aku bisa memberikan sekenanya.
Tapi saat aku ulurkan tanganku, 
Oh, kau lihat sorot matanya?
Ia senang, namun
Aku bisa tahu bahwa saat itu, ia kehilangan semua kata-katanya.
Ia lupa, ia terbutakan oleh apa yang saat itu baru akan kuberikan.
Ada kabut licik tipis di matanya.
Ia seperti berkata, "mudah sekali"
Apa? Mempermainkanku tentunya.
Tapi yah mungkin aku memang bodoh, kau boleh mengejekku sesukamu.
Sebab aku tak bisa menarik kembali uluran tanganku.
Sedangkan musik mengalun di sepanjang jalan itu, aku pun tak bisa berpikir lagi.
Kau masih bertanya? Tentu saja kuberikan.
Aku mengejar waktu, jika kau ingin tahu.
Berusaha sekuat tenaga mengatakan bahwa itu adalah perbuatan baik, tapi
Aku tidak mengerti mengapa aku ragu
Ya, ya, katakan terus sebanyak yang kau mau
Aku memang sedikit, ah mungkin tidak, menyesal
Rasa takut melandaku membayangkan sosok anak-anak
Dengan pendidikan yang minim, dipanasi
Kau sering lihat? Mereka yang meminta-minta di sudut jalan bersama plastik tak terbakar.
Aku takut. Takut sekali.
Aku takut menjadi sebab akan keburukan yang melanda.
Aku takut akan orang itu,
Orang itu
Aku takut ia menjadi akar permasalahan.
Jika kau tanyakan lagi, kuberitahu.
Tidak ada masalah pada diriku. Aku tidak kekurangan sesuatu apapun.
Yang kuragukan adalah dampak perbuatanku, bukan apa yang kuberi.
Ya, ya, katakan lagi.
Aku memang bodoh.