Mimpi buruk.
Aku bahkan tidak tahu warna apa yang diperlihatkan sang dewa
api. Kakiku berjalan tak tentu arah di atara hiruk pikuk manusa, penjaja.
Mereka mengucap kata yang sama, kalimat yang sama. Dan sesekali melati terduduk
terbujuk. Sedang mawar, terdiam memperhatikan, barangkali tak mengerti. Telinga
pun bosan, mata lelah mencari. Ah.. Tetap dia yang protes, meminta lidah untuk
mengumpat.
Sesak... Keramaian yang mengkungkung tanpa celah.
Gulungan putih bertebaran, tak beraturan. Si hitam jantan
tergoda untuk meleburkannya, tapi aku tetap memaksanya berjalan. Toh mereka tak
lagi menyala. Lagipula tidak ada yang sekesal dia, yang masih meminta lidah
bicara.
Hiruk pikuk yang lembut sebenarnya, hanya tertutup kebosanan
akan rutinitas. Sesederhana melati, mereka tetap tertawa. Melompat dari satu
kotak ke kotak lainnya. Seakan terbiasa.
Senang, walau miris, tapi masih sesak...
Mimpi buruk. Hiruk pikuk anank-anak abu-abu meramaikan
gerbong. Tawa yang seperti hantu, entah pengaruh tepung mana lagi...
Nyala itu, muncul lagi. Meski bulan telah menemani. Bukan,
justru karena itu mereka semakin menyala. Hiruk pikuk beralaskan sneakers,
terburu memanjati jendela. Aku tak keberatan.
Tuhan, hanya ada satu yang kukesalkan. Bahkan ketika tawa
hantu itu terdengar kembali, aku hanya tertawa. Senyum di wajah pak tua sanggup
mengalihkanku dari himpitan hitam reebook. Tak duduk pun aku tak apa,
tergantung pun aku tak keberatan. Hanya satu, Tuhan, dalam kegelapan malam dan
kekurangan cahaya gerbong, yang aku inginkan. Nyala itu. Aku tak apa tak
mendapat cahaya, tapi kumohon jangan nyala itu yang ada. Tuhan, diri ini sesak.
Dari hiruk pikuk komunikasi hingga hiruk pikuk anak gerbong. Aku tak apa,
Tuhan, untuk berdiri dihimpit atau berjala tanpa henti. Hanya satu..
Kebulan yang mampu membuatku mati pelan-pelan itu, Tuhan,
enyahkan dia.
_Stasiun Kalibata, 14April 2011, 20.00