Rabu, 25 September 2013

Senja di Taman Lingkar


Sebuah tulisan untuk Mata Kuliah Penulisan Populer


Kala matahari semakin jelas bergerak menuruni langit, puluhan langkah kaki manusia semakin meramaikan jalanan luas pelataran gedung perpustakaan. Berbagai macam orang berjalan mondar-mandir di setiap sudut perpustakaan. Tidak hanya mahasiswa, tetapi juga orang-orang bergaya kantoran, petugas, atau sekadar penduduk yang melintas. Tujuan mereka berbeda-beda, ada yang menuju ke tempat peminjaman buku di lantai dua dan seterusnya, laboratorium komputer, atau sekadar lewat dan duduk-duduk di taman sepertiku. 


Mereka yang tidak memasuki gedung perpustakaan pasti akan melintasi taman yang diapit oleh gedung perpustakaan ini. Sesuai namanya, Taman Lingkar memiliki tempat duduk berupa semen berbatu yang dibentuk melingkar, bersisian dengan gedung perpustakaan yang juga memiliki bentuk sedikit melengkung. Di sisi-sisi taman terlihat pohon yang besar, yang menjadi tempat berteduhnya para mahasiswa kala terik matahari menyengat seperti siang tadi. Dari taman ini dapat terlihat gedung Balairung UI yang sedang ramai dengan suara-suara musik, entah untuk kegiatan apa lagi. Mungkin, karena begitu banyak kegiatan yang dapat diselenggarakan di UI ini. Dari Taman Lingkar ke Balairung UI terpisahkan oleh sehamparan danau yang cukup luas. Pada permukaan airnya masih terlihat pantulan cahaya matahari yang sudah semakin berpendar. Gedung perpustakaan yang memiliki enam lantai ini cukup tinggi sehingga sedikit banyak menghalangi cahaya matahari yang sudah semakin condong ke barat.
Gedung perpustakaan bernuansa abu-abu terang, dengan material yang memantulkan cahaya sehingga terlihat gemerlap dan megah. Pintu-pintunya yang terbuat dari kaca terbuka, sehingga orang-orang yang berada di dalamnya dapat dengan mudah keluar-masuk. Dindingnya pun didominasi oleh kaca, sehingga aktivitas mereka yang berada di dalam perpustakaan dapat terlihat oleh kami yang duduk di taman. Di lantai dasar, di dalam ruangan bernuansa cokelat, terlihat muda-mudi yang duduk menikmati isi cangkir masing-masing. Di atas kaca jendelanya terlihat sebuah simbol hijau bertuliskan “Starbucks”. Di jendela pada sisi gedung yang lain dapat terlihat mahasiswa yang sedang duduk dan mengobrol , atau mungkin mengerjakan tugas perkuliahan yang menumpuk, sehingga lingkungan perputakaan ini terasa begitu luas.
Pada sore hari seperti ini, biasanya aku melihat para pemusik berkumpul dan berlatih biola, violin, alat musik tiup atau alat musik lainnya, diiringi dengan pelatihnya masing-masing, atau mungkin hanya temannya. Hari ini mereka tidak terlihat, atau belum, atau mungkin perhatianku masih teralihkan oleh semilir angin dan keramaian. Para mahasiswa masih terlihat berkumpul dengan sesamanya, mengerjakan tugas secara lesehan di taman, makan bersama atau sekedar duduk-duduk dan mengobrol. Penampilan merekapun bermacam-macam. Ada yang terlihat seperti mahasiswa biasa dengan kemeja atau blus, ada pula yang mengenakan kaos kutang dan jeans. 
Potongan rambut mereka pun bervariasi dari yang rapi, klimis disisir menyamping, panjang awut-awutan, keriting kribo, cukur sebelah atau bahkan gundul licin.  Suasana yang temaram dan teduh di sore hari seperti ini sangat menyenangkan bagi mereka yang duduk bersantai. Di jalan setapak sekeliling Taman Lingkar inipun terlihat banyak orang yang berlalu-lalang. Mungkin mereka baru saja meminjam buku atau bisa jadi hanya lewat, dalam persinggahan dari satu fakultas ke fakultas lain, atau menuju ke Masjid Ukhuwah Islamiyah yang letaknya persis di sebelah parkiran belakang perpustakaan.
Ada beberapa mahasiswa yang kulihat berjalan dengan mengenakan papan dada sebagai pengenal, maka dapat ditebak bahwa mereka adalah para mahasiswa baru yang sedang menjalani masa orientasi dari jurusan masing-masing, sebab masa orientasi kampus dan fakultas setahuku sudah selesai beberapa pekan lalu. Di dekat pohon besar di pinggir lingkaran batu, bertemankan dedaunan gugur terlihat para mahasiswa yang duduk berkumpul dan memakan perbekalan masing-masing, yang mungkin baru dibeli dari kantin fakultasnya, atau dari kios-kios makanan yang berada di dekat pintu keluar di sebelah Café Korea. 
Beberapa petugas berseragam hijau terlihat menyapu dengan tenang, sesekali berbincang sesama mereka, dengan menggiring tempat sampah berbentuk persegi panjang dan juga berwarna hijau. Seorang laki-laki berpakaian seperti orang kantoran terlihat menyapa mereka sekilas, berbicara sebentar dan kemudian pergi menelusuri jalan yang menuju Rektorat, jalan yang bersisian dengan tepi danau. Jika terus menelusuri jalan itu, kau akan tiba di Balairung dan seolah-olah telah melintasi danau, sebab Balairung berada nyaris tepat di seberang perpustakaan. Di danau itu terdapat orang-orang yang mendayung perahunya, mereka terlihat bersenang-senang, tertawa dan bertingkah sesukanya di tengah-tengah danau itu. Aku bahkan tidak tahu apakah itu diperbolehkan.
Matahari sudah tidak terlihat, cahayanya yang temaram semakin samar dengan datangnya  bayang-bayang gelap yang menandai datangnya malam. Gedung perpustakaan yang berada di sisi kiriku terlihat semakin gelap, kecuali cahaya-cahaya lampu yang terlihat melalui jendela-jendelanya menciptakan terang yang begitu berbeda. Sebentar lagi musik tradisional akan diputar di seluruh pengeras suara gedung, menandakan perpustakaan akan ditutup dan para mahasiswa sudah harus pulang. Akan tetapi tidak banyak yang beranjak dari tempatnya, semua orang masih santai mengerjakan aktivitasnya masing-masing, mungkin terlena dengan suasana yang temaram.

Kamis, 19 September 2013

Sisa Hujan


sebuah tulisan untuk Mata Kuliah Penulisan Populer
19 September 2013, 11.34

Beban seperti bertambah ketika kakiku melangkah menapaki jalanan berbatu yang mulai menanjak. Hampir saja aku tersandung. Permukaan batu-batu kelabu ini memang sudah banyak terpecah, seolah mengundang pejalan kaki untuk mencium bau tanahnya yang baru saja tersirami hujan. Bahkan lembaran ilalang yang menghiasi sisi jalan ini masih meneteskan bulir-bulir air, cahaya matahari terpantul membentuk kerlip-kerlip kecil. Indah, seperti tidak membiarkan kelopak bunga yang berguguran di sisinya untuk mengering, merengut ditapaki para mahasiswa yang sibuk berlalu-lalang.
Seorang mahasiswi dengan tas punggung berwarna beige membungkukkan badannya di depanku. Ia membetulkan tali sepatunya sembari masih mengobrol dengan kedua temannya yang masing-masing menggantungkan hiasan berwarna-warni pada tas mereka. Mataku menyipit menatapnya, warna-warni gantungan smiley itu seperti menertawakanku. Untungnya jalan sudah mendatar kembali, maka tidak sulit untukku berhenti sejenak.
Angin semilir membawa selembar daun kering menempel pada kacamataku. Kulepaskan genggaman pada payung ungu lembab yang kubawa agar aku bisa leluasa membersihkan kacamata yang mulai basah. Mataku mengerjap-erjap, kebetulan memperhatikan sesuatu yang berbentuk seperti bola menggantung di dahan pepohonan. Buah apa yang sebesar itu? Kutebak rasanya tidak manis. Di tempat seperti ini kurasa kampusku asri sekali. Cantik, warna merah kelopak bunga menemani warna-warna kering daun yang sudah berguguran di sepanjang jalan setapak ini. Di sekelilingnya hanya ada hijau warna rerumputan dan ilalang yang terhampar hingga ke sudut-sudut yang tidak terlihat ujungnya.
Sesaat kukira aku tidak akan bisa memutuskan jalan mana yang akan kuambil, seperti terhadap alur takdir yang tidak pernah bisa kutebak akhirnya. Akan tetapi daun dan ranting pohon-pohon yang tidak terlalu tinggi di sisi-sisi jalan ini menjatuhkan sisa hujan ke atas kakiku yang tidak terlindungi lapisan sepatu. Dingin, seperti pagi hari saja. Bahkan pohon berbatang putih di sebelahku inipun ikut menggigil.
Tidak lama setelah berjalan kembali, di sebelah kiri kudapati bangunan berbentuk bundar sederhana yang disesaki para mahasiswa. Aroma berbagai makanan bercampur dengan asap rokok menggeliat keluar dan mengawang-awang ke langit yang tampak masih setengah mendung. Huah, abu-abu memang cocok untuk warna kelabu langit yang habis menangis, tapi tangisannya malah akan semakin menjadi-jadi jika gumpalan debu itu terus naik. Seperti tangisku saat mendapati kelabu menghampiri matamu yang memohon.
Awan berarak dengan enggan, didominasi oleh warna-warna kesedihan. Akan tetapi langit masih mencoba menampakkan ketegaran lewat celah-celah yang dilintasi cahaya mentari, harmonisasi yang lembut menyapa mataku yang juga masih sembab. Padahal, hari ini masih panjang. Bisa saja hujan turun kembali, itu sebabnya payung ini belum kulipat kembali. Matahari akan tertutupi lagi oleh awan, sekali lagi menurunkan perih pada luka-luka bumi yang belum juga kering.
Tepat di hadapanku kini terdapat sebuah kolam –entahlah—dengan bejana air yang cukup besar di tengah-tengahnya, berdiri ditopang batang-batang besi yang melingkar. Pinggiran kolam tertutupi oleh tetumbuhan berwarna ungu gelap, namun warna tembaga pada besinya terlihat pucat. Kesan yang ditimbulkan jalanan ini memperlihatkan usianya yang tidak sebentar. Biar bagaimanapun kampusku ini sudah tua, menyimpan banyak kenangan yang tidak kuketahui. Di jalan ini pernah lewat muda-mudi yang membawa alat-alat musik atau setumpuk buku diktat, seorang pengembara tanpa alas kaki dengan jaring menggantung di punggungnya, juga seorang diktator berdasi hitam dengan beberapa penjilat mengelilinginya. Mereka datang, menatap bejana air ini sebentar dan berlalu, tanpa repot-repot menengok pantulan wajah mereka pada genangan air yang kehijauan ini. Mereka tidak mau melihat wajahnya berwarna hijau sepertiku kini. Tidak, justru pucat.
Kolam dengan bejana ini seolah menjadi pusat perhatian meski tidak terindahkan lagi, sebab di sinilah terdapat persimpangan jalan. Selain jalan di sebelah kiriku yang mengarah pada kantin sastra, jalan di sebelah kananku bercabang dua dan jalan di depanku pun demikian. Jika meneruskan jalan ini, aku akan sampai pada persimpangan satu lagi yang berada di depan mushala kampus. Bangunan yang baru saja direnovasi itu belum terlihat, sebab jalan berbatu ini berkelok-kelok dan dihiasi pohon-pohon di sisinya.
Dari sana datang seorang mahasiswi yang mengenakan kemeja polkadot ungu dan merah, ia menundukkan kepala agar bando Minnie Mouse-nya tidak terantuk dahan. Sayang, sepatu teplek berwarna biru yang dikenakannya malah terkena genangan air akibat dia tidak memperhatikan langkahnya. Seharusnya seseorang bisa menyingkirkan dahan itu lebih dulu. Tidak, apa yang kupikirkan? Gadis itu kan sendirian. Diam-diam kudoakan agar ia mendapat tempat berteduh saat hujan menderu lagi.
Aku mengarahkan pandangan pada jalan yang terbentang di sebelah kanan. Dari balik pohon-pohon yang masih meneteskan sisa-sisa tangis, terlihat sosok-sosok para mahasiswa yang melangkah dari dan menuju gedung perkuliahan, sebagian mereka mengenakan papan nama. Rombongan itu menjadi satu dengan rombongan di belakangnya yang mengenakan seragam tim. Suara-suara mereka diliputi kelegaan, hujan yang deras sepanjang pagi tadi rupanya menghambat aktivitas sebagian dari mereka. Kubiarkan kelebat papan nama berwarna emas dan merah biru itu melewati pandangan, hingga sesuatu menyentuh pundakku dengan ragu.
Sesaat kukira hujan turun lagi. Ternyata itu hanya embun yang menetes dari helai-helai rambutmu yang berantakan. Mata itu menatapku, seiring cahaya yang tersisa menyeruak sisa hujan. Rupanya matahari tidak akan pernah menyerah.

Senin, 16 September 2013

Persepsi Lagu 1



Desah nafas yang keluar dari bibirmu membuatku merasakan sakit
Bagaimanapun, kebahagiaanmu adalah hal utama yang ingin kuwujudkan
Seberapapun inginnya aku mencari penyegaran atas hari-hari melelahkan yang terus berulang,
Aku hanya menenggak air saja akhirnya, dan kamu menatapku seraya berkata,
“Kamu sudah berusaha keras”

Sesungguhnya hanya ada satu tempat yang dituju oleh tubuhku yang kelelahan
Dengan kekuatan yang terserak, ya, aku menuju padamu semata

Jika aku telah memegang harga diri ini dengan kuat,
Aku akan mengencangkan dasi yang kukenakan ini
Sebab meski setiap hari kupaksakan tubuhku melewati kerumunan orang yang hilir mudik
Dalam hati ini hanya kebahagiaan yang kuyakini
Sebab, aku telah menggenggam cintamu

Maka aku akan membawakan kebahagiaan dalam duniamu
Sebab, aku menggenggam cintamu

-Tsuite Oide-

Surat Cinta


Assalamu’alaikum wr.wb
Cinta, apa kabarmu di sana? Kasih di sini baik-baik saja. 
Aku ditemani Sehat, Ceria dan Semangat. Kuharap mereka juga bersamamu selalu. Sehat terkadang pergi, tapi ia masih tetap bersamaku. Cinta, tahukah kau? Setelah kau pergi mengembara bersama Tekad, Rindu sering mengunjungi Hati. Rumah mungil kita itu jadi sering didatangi tamu. Sedih pun kadang datang dan pergi tanpa diundang. Aku senang masih ada Sabar di sudut Hati, ia selalu mengajak Senyum untuk menghiasi rumah kita. 
Saat kau datang kembali, Cinta, Kasih yakin Hati akan ramai kembali. Kalau kau mau tahu, Semangat kadang pergi bermain entah ke mana, walau ia tahu Sabar membutuhkannya dalam membenahi rumah mungil kita. Noda juga sering datang, Cinta, ia muncul di sela-sela percakapanku dengan Canda dan Tawa. Bijak sampai heran kenapa kami tidak memperhatikannya? Bahwa Canda dan istrinya, Tawa, memiliki anak-anak yang banyak, tidak hanya Senang dan Ramah, tapi juga ada Dengki dan Ghibah. Sabar bahkan pergi ketika mereka tak terkendali lagi. Akibatnya, Amarah keluar dari loteng Hati. Cuma aku yang bisa mendiamkan mereka, sebab Bijak pun tak lagi didengar. 
Jika kau ada di sini, Cinta, Kasih yakin keadaan akan jadi lebih baik. Atap Hati pasti berfungsi dengan baik, dan Mutiara Jiwa di dasar rumah kita pasti mau keluar mengunjungi tamu-tamu kita. Senyum tak henti mendatangiku ketika aku menulis surat ini. Sabar menunggu balasanmu. Tapi Rindu ingin kau segera di rumah saja. Begitupun denganku. Salam dan Do’a telah berangkat untukmu.
Wassalamu’alaikum wr.wb
Kasihmu.


_27 Oktober 2009, 12.32