Kamis, 19 September 2013

Sisa Hujan


sebuah tulisan untuk Mata Kuliah Penulisan Populer
19 September 2013, 11.34

Beban seperti bertambah ketika kakiku melangkah menapaki jalanan berbatu yang mulai menanjak. Hampir saja aku tersandung. Permukaan batu-batu kelabu ini memang sudah banyak terpecah, seolah mengundang pejalan kaki untuk mencium bau tanahnya yang baru saja tersirami hujan. Bahkan lembaran ilalang yang menghiasi sisi jalan ini masih meneteskan bulir-bulir air, cahaya matahari terpantul membentuk kerlip-kerlip kecil. Indah, seperti tidak membiarkan kelopak bunga yang berguguran di sisinya untuk mengering, merengut ditapaki para mahasiswa yang sibuk berlalu-lalang.
Seorang mahasiswi dengan tas punggung berwarna beige membungkukkan badannya di depanku. Ia membetulkan tali sepatunya sembari masih mengobrol dengan kedua temannya yang masing-masing menggantungkan hiasan berwarna-warni pada tas mereka. Mataku menyipit menatapnya, warna-warni gantungan smiley itu seperti menertawakanku. Untungnya jalan sudah mendatar kembali, maka tidak sulit untukku berhenti sejenak.
Angin semilir membawa selembar daun kering menempel pada kacamataku. Kulepaskan genggaman pada payung ungu lembab yang kubawa agar aku bisa leluasa membersihkan kacamata yang mulai basah. Mataku mengerjap-erjap, kebetulan memperhatikan sesuatu yang berbentuk seperti bola menggantung di dahan pepohonan. Buah apa yang sebesar itu? Kutebak rasanya tidak manis. Di tempat seperti ini kurasa kampusku asri sekali. Cantik, warna merah kelopak bunga menemani warna-warna kering daun yang sudah berguguran di sepanjang jalan setapak ini. Di sekelilingnya hanya ada hijau warna rerumputan dan ilalang yang terhampar hingga ke sudut-sudut yang tidak terlihat ujungnya.
Sesaat kukira aku tidak akan bisa memutuskan jalan mana yang akan kuambil, seperti terhadap alur takdir yang tidak pernah bisa kutebak akhirnya. Akan tetapi daun dan ranting pohon-pohon yang tidak terlalu tinggi di sisi-sisi jalan ini menjatuhkan sisa hujan ke atas kakiku yang tidak terlindungi lapisan sepatu. Dingin, seperti pagi hari saja. Bahkan pohon berbatang putih di sebelahku inipun ikut menggigil.
Tidak lama setelah berjalan kembali, di sebelah kiri kudapati bangunan berbentuk bundar sederhana yang disesaki para mahasiswa. Aroma berbagai makanan bercampur dengan asap rokok menggeliat keluar dan mengawang-awang ke langit yang tampak masih setengah mendung. Huah, abu-abu memang cocok untuk warna kelabu langit yang habis menangis, tapi tangisannya malah akan semakin menjadi-jadi jika gumpalan debu itu terus naik. Seperti tangisku saat mendapati kelabu menghampiri matamu yang memohon.
Awan berarak dengan enggan, didominasi oleh warna-warna kesedihan. Akan tetapi langit masih mencoba menampakkan ketegaran lewat celah-celah yang dilintasi cahaya mentari, harmonisasi yang lembut menyapa mataku yang juga masih sembab. Padahal, hari ini masih panjang. Bisa saja hujan turun kembali, itu sebabnya payung ini belum kulipat kembali. Matahari akan tertutupi lagi oleh awan, sekali lagi menurunkan perih pada luka-luka bumi yang belum juga kering.
Tepat di hadapanku kini terdapat sebuah kolam –entahlah—dengan bejana air yang cukup besar di tengah-tengahnya, berdiri ditopang batang-batang besi yang melingkar. Pinggiran kolam tertutupi oleh tetumbuhan berwarna ungu gelap, namun warna tembaga pada besinya terlihat pucat. Kesan yang ditimbulkan jalanan ini memperlihatkan usianya yang tidak sebentar. Biar bagaimanapun kampusku ini sudah tua, menyimpan banyak kenangan yang tidak kuketahui. Di jalan ini pernah lewat muda-mudi yang membawa alat-alat musik atau setumpuk buku diktat, seorang pengembara tanpa alas kaki dengan jaring menggantung di punggungnya, juga seorang diktator berdasi hitam dengan beberapa penjilat mengelilinginya. Mereka datang, menatap bejana air ini sebentar dan berlalu, tanpa repot-repot menengok pantulan wajah mereka pada genangan air yang kehijauan ini. Mereka tidak mau melihat wajahnya berwarna hijau sepertiku kini. Tidak, justru pucat.
Kolam dengan bejana ini seolah menjadi pusat perhatian meski tidak terindahkan lagi, sebab di sinilah terdapat persimpangan jalan. Selain jalan di sebelah kiriku yang mengarah pada kantin sastra, jalan di sebelah kananku bercabang dua dan jalan di depanku pun demikian. Jika meneruskan jalan ini, aku akan sampai pada persimpangan satu lagi yang berada di depan mushala kampus. Bangunan yang baru saja direnovasi itu belum terlihat, sebab jalan berbatu ini berkelok-kelok dan dihiasi pohon-pohon di sisinya.
Dari sana datang seorang mahasiswi yang mengenakan kemeja polkadot ungu dan merah, ia menundukkan kepala agar bando Minnie Mouse-nya tidak terantuk dahan. Sayang, sepatu teplek berwarna biru yang dikenakannya malah terkena genangan air akibat dia tidak memperhatikan langkahnya. Seharusnya seseorang bisa menyingkirkan dahan itu lebih dulu. Tidak, apa yang kupikirkan? Gadis itu kan sendirian. Diam-diam kudoakan agar ia mendapat tempat berteduh saat hujan menderu lagi.
Aku mengarahkan pandangan pada jalan yang terbentang di sebelah kanan. Dari balik pohon-pohon yang masih meneteskan sisa-sisa tangis, terlihat sosok-sosok para mahasiswa yang melangkah dari dan menuju gedung perkuliahan, sebagian mereka mengenakan papan nama. Rombongan itu menjadi satu dengan rombongan di belakangnya yang mengenakan seragam tim. Suara-suara mereka diliputi kelegaan, hujan yang deras sepanjang pagi tadi rupanya menghambat aktivitas sebagian dari mereka. Kubiarkan kelebat papan nama berwarna emas dan merah biru itu melewati pandangan, hingga sesuatu menyentuh pundakku dengan ragu.
Sesaat kukira hujan turun lagi. Ternyata itu hanya embun yang menetes dari helai-helai rambutmu yang berantakan. Mata itu menatapku, seiring cahaya yang tersisa menyeruak sisa hujan. Rupanya matahari tidak akan pernah menyerah.

1 komentar: