Senin, 21 Oktober 2013

Masih Jauh


Sebuah tulisan untuk Mata Kuliah Penulisan Populer

Napasku tersengal. Gila! Seharusnya aku tidak bekerja sama dengan orang-orang itu! Hidungku kembang kempis tanpa irama, hasil dari berlari tanpa henti. Langkah kaki yang terburu mulai melambat. Hampir mati rasanya. Entah sudah berapa jam berlari, aku sama sekali tidak memperhatikannya. Mataku sudah terbiasa dengan kegelapan, tapi sama sekali tidak kuperhatikan jalan di bawah sepatu usangku. Di pipiku masih ada jejak tangis. Pengecut memang. Sudah seberapa jauh kutinggalkan tempat itu? Ah, aku tidak bisa memikirkannya. Aku meninggalkanmu. Wajahmu. Lari! Itu saja yang ada dalam pikiranku.
            Ponselku bergetar. Tanganku juga gemetaran saat merogoh kantung jeans belel yang kukenakan untuk meraih teknologi murah itu. Nyaris terselip jatuh, tanganku licin oleh keringat. Kusahuti panggilan dengan kedua tangan memegangi ponselku.
            “Apa? ..Entahlah, aku tidak tahu! Masih gelap … apa maksudmu? Itu bukan salahku! Kau sendiri lari seenaknya seperti ayam! Hancur semua! …hei!”
            Suara di seberang berubah menjadi dengingan keras yang menyakitkan telinga. Asal saja kutekan tombol-tombol itu. Baterainya nyaris habis. Aku mengumpat. Tidak sempat kutanyakan di mana keberadaannya dan dia sudah memutuskan pembicaraan, kurang ajar!
“Aku tahu kau bekerja untuknya.”
Tiba-tiba aku merinding. Tersentak. Terdengar suara-suara di belakangku. Keramaian pagi, baru kusadari matahari sudah memanjangkan sinarnya dan menemukanku yang berada di balik balok-balok kayu. Kupaksakan kakiku untuk berlari lagi.
           
            “Kopi hitam?” tanya bocah itu.
            “Iya, hitam.” Ujarku tanpa melihat wajahnya. “Kau punya, kan?”
            Bocah lelaki belasan tahun itu mengangguk-angguk canggung, lalu mulai menyeduh. Mungkin masih terlalu pagi untuk seorang lelaki tua berwajah buruk menyelinap warung yang baru saja diangkat tirai penutupnya. Apalagi kemeja yang kukenakan ini sudah basah oleh keringat. Warna biru motif kotak-kotaknya terlihat seperti ungu. Jika kucuci dengan baik, noda merah di sana tidak akan terlihat lagi. Sudah tiga hari aku berjalan. Pasti sangat buruk kelihatannya. Uangku sudah habis.
Bocah itu masih menatapku. Saat kubalas tatapannya, ia jadi terlihat panik dan terburu-buru. Bah, apa ini masalah? Yang kuminta hanya secangkir kopi.
            Aku tidak bisa memusatkan perhatian. Leherku terus bergerak mengikuti kepalaku yang terus menoleh dan mendongak. Warung-warung lain terlihat mulai sibuk, mereka membuka pintu dan menata bungkus-bungkus minuman instan. Di jalanan pun para pedagang kaki lima sudah mulai beraktivitas. Beberapa pembeli sudah berdatangan. Ah, pasar. Terakhir kali aku datang ke pasar seperti ini, yang kudapat hanya keluhan dari perempuan yang tidak mengerti apa-apa! Tentu saja. Wajahnya baru akan menampakkan seringai tipis ketika berada dalam toko yang dipenuhi kilau permata.
            Jantungku berdegup. Aku tidak ingin mengingatnya. Wajah penuh riasan yang muncul dalam benakku menjadi kabur dan berganti-ganti. Wajah itu tertawa. Mengerut. Kemudian bersemu. Bukan, ketakutan. Tidak, tidak. Air matanya nyata sekali, berbeda dari yang sebelumnya. Tertawa lagi.
            Menurutmu aku bisa meminta dibelikan yang ini?” Suaranya berdesir di dalam kepalaku. Suara yang manis dan sedikit serak. Kikik tawanya khas sekali. Terngiang-ngiang. Bayang-bayang kerut kecil pada sisi matanya menghiasi senyuman lebar yang menampakkan deretan gigi putih memukau. Senyumnya tidak ditujukan padaku. Padahal aku bisa membelikan itu seandainya orang yang dia perhatikan itu menggajiku lebih baik lagi. Perempuan itu menatapku, tapi jauh. Gambaran itu berpendar dan berganti-ganti. Kepalaku berdenyut, wajah itu menghantuiku sepanjang pelarian malam-malam kemarin. Matanya terbelalak dan senyumnya rusak. Tapi tawanya tetap bergema di telingaku. Sakit sekali kedengarannya. Kupejamkan mataku kuat-kuat. Matanya menangis…
            “Bung, kau kenapa?”
            Keras kuangkat kepalaku. Di sampingku duduk seorang laki-laki berseragam cokelat. Kulitnya keling dan matanya hitam legam. Wajahnya bertanya, namun pada saat yang sama juga menunjukkan rasa tidak ingin tahu.
            Kuturunkan telapak tangan dari telingaku. Aku menggeleng kecil dan melontarkan pandangan “bukan urusanmu” sekilas. Meskipun aku yakin, lingkaran hitam di bawah mataku pasti akan melemahkan sorot mata sok kuat yang kupancarkan. Sial, aku melemah. Pelarianku sudah berhasil dan tidak ada jejak yang kutinggalkan sehingga polisi tidak akan mengejarku lagi. Tetap saja jiwaku sudah surut, kepalaku dipenuhi berbagai hal yang tidak bisa lepas dari bayang-bayang waktu bersamamu. Aku tidak punya tujuan lagi.
            Lelaki di sampingku kembali pada piring gorengannya. Wajahnya terlihat santai, tidak adakah beban pikiran di kepalanya yang berambut cepak itu? Dia meminta air pada si bocah sambil membicarakan banyak hal. Kubiarkan mereka berbincang tanpa memperhatikan sedikitpun.
            “Kopinya keburu dingin, bang.” Bocah warung itu mengingatkan. Aku baru sadar bocah itu sudah berganti pakaian. Seragam merah putih yang dikenakannya terlihat lusuh. Ia membenarkan letak topinya yang kebesaran. Heh, baru sekarang kuperhatikan wajahnya. Anak ini seharusnya sudah SMP.
            “Kalau aku punya anak, lebih mudah menarik dia untuk bersamaku, bukan?”
            Aku menggeleng kuat. Kamu tidak sadar! Tidak pernah sadar! Kenapa wajahmu begitu sumringah setiap kali membicarakan orang seperti itu, heh! Kau tidak pernah cukup dengan apa yang kuberikan padamu! Napasku memburu lagi. Tanganku gemetar. Suara-suara yang lain terdengar di telingaku. Suara-suara para laki-laki.
            “Kau seharusnya mengawasinya. Jangan biarkan ia bertingkah!” diikuti bayang-bayang uang. Harta semu! Sudah lama kubiarkan lembar-lembar baru itu teronggok begitu saja di bawah bantalku. Di saat aku memerlukannya, ia tidak pernah ada! Mana sempat aku mengambilnya, kamar itu pasti sudah dibuat porak-poranda oleh mereka.
            “Kau cukup mengawasi di sana.”
Kemudian bayang-bayang itu. Bayang-bayang mengerikan yang terbungkus kegelapan malam. Bayang-bayang yang mungkin akan menghantuiku seumur hidup.
“Di sini bukan lagi tugasmu! Pergilah! Kau tidak diperlukan lagi jika sudah terlalu banyak tahu,”
…dan aku meninggalkanmu. Menjauh lagi. Hanya saja, kali ini lebih buruk. Meninggalkanmu berarti membiarkanmu meninggalkanku. Takkan lagi kutemui ringis kecilmu.

            Denting gelas membuat mataku terbuka.
            “Kau dengar ribut-ribut beberapa hari ini? Sepertinya ada maling atau apa,”
            Mataku terbelalak. Kujaga agar wajahku tetap menatap gelas kopi yang baru terminum tidak sampai setengahnya. Mereka tidak bermaksud apa-apa. Ya, tidak. Aku mendongak menatap jam dinding yang agak retak di sisi warung. Sebentar lagi bocah ini toh akan pergi bersekolah. Hmh, masih ada waktu untukku berlari sedikit lagi. Pasar masih ramai.
            Kukeluarkan receh yang tersisa di kantungku dan mendentingkannya di atas piring. Terima kasihku hanya berupa gumaman, entah didengar atau tidak, segera saja aku menyibak tirai warung dan memasuki keramaian pasar.
            “Ini bukan salahmu, kok.”
            Aku tahu itu. Aku tahu, tapi aku membiarkanmu! Beberapa kali mereka mengingatkanku bahwa aku hanya perlu mengawasimu. Tapi mengasihimu adalah satu hal yang tidak bisa kuelakkan. Matamu membawaku dalam dunia khayal. Matamu yang kemudian menatapku bersimbah darah.
            Kubawa kakiku berlari begitu kudapati diriku berada dalam sebuah pemukiman. Berpapasan dengan beberapa anak sekolah dan para pegawai kantoran. Seharusnya aku menaiki kendaraan umum dan pergi jauh, tapi kantong yang hampir tak berisi ini mencegahku melakukan itu. Aku hanya terus berjalan dan mendapati jalan raya yang sudah ramai.
            Sejak dulu aku berada di dekatmu. Diperintahkan menjaga jarak sekalipun, aku masih di dekatmu. Matamupun tidak melihatku, tapi aku melihatmu. Aku tersenyum kecut. Di saat matamu membelalak menatapku, aku pergi. Aku menjauh, dan kau meninggalkanku.

Sabtu, 05 Oktober 2013

Pemilik Rumah


Sebuah tulisan untuk Mata Kuliah Penulisan Populer

Kedatangan bus yang hanya beberapa jam sekali di dusun tua itu disambut dengan kepak sayap yang terdengar menjauhi pohon-pohon besar di sudut kanan jalan. Penumpangnya nyaris tidak ada, seorang yang tersisa baru saja turun dengan langkah kaki yang berat pada sepatu kulit hitamnya. Matahari sudah nyaris tidak menampakkan diri, tapi cahaya lampu masih berpendar dari kota yang baru saja dia tinggalkan di belakang. Pemuda itu mendongak. Bahkan bulan enggan menampakkan diri untuk sekadar menemani. Pada tanda pengenal yang terjepit di dada kiri kemejanya tercetak nama, namun jaket lebar yang dikenakannya menutupi sebagian besar tulisan tersebut.
Petak-petak tanah yang tersekat oleh rerumputan liar terlihat amat kering dalam pandangan pemuda itu. Langkahnya semakin melambat, seiring dengan semakin erat genggaman tangannya pada tas jinjing berwarna pucat yang dibawanya sejak pagi. Isinya sederhana, dompet, koran, beberapa dokumen pekerjaan, senter kecil dan sekantung permen. Masih terngiang di telinganya cemoohan para rekan kerjanya ketika mencegah pemuda itu membawa tas besar dengan persiapan penuh pada malam sebelumnya.
“Di sana tidak ada apa-apa, Gon… Kalau kamu  ragu, seharusnya kamu  menolak tawaran pejabat itu untuk mengobservasinya pada malam hari. Er—hei! Dia tidak perlu membawa itu! Jangan buat orang semuda dia mempercayai takhayul semacam itu,” Rara memutar bola matanya yang kecokelatan, sambil berdecak memperhatikan benda-benda konyol yang nyaris dimasukkan ke dalam tas Gon oleh teman-temannya. Melihat wajah Gon yang masih berusaha meneliti kalender di atas meja kerjanya yang tertata rapi, mencari-cari barangkali ada hari kosong, si sekretaris itu menambahkan lagi, “Kau tetap harus pergi. Surat permintaan transaksi itu sudah mencantumkan jumlah yang hebat untuk kelangsungan perusahaan ini. Kau juga sudah menyetujuinya. Tanggung sendiri akibatnya sekarang. Pokoknya aku sudah memenuhi jadwalmu hingga satu setengah bulan ke depan. Tidak ada waktu lagi!”
Gon menghembuskan napasnya dengan berat. Dia berhenti sejenak, bermandikan cahaya jingga yang temaram dari lampu jalanan yang kelihatannya sudah berusia puluhan tahun di atas kepalanya. Merapikan penampilannya sebentar sebelum menjumpai sebuah rumah besar bergaya barat yang menanti di ujung jalan ini. Gon menyentuh jaket tua berwarna cokelat tanah yang sudah lusuh menemaninya seharian—aduh, warnanya jadi merah sekarang gara-gara lampu tua ini. Sama sekali tidak sesuai dengan seleranya. Udara semakin terasa dingin, menusuk-nusuk hingga ke tulang. Gon merapatkan jaketnya, sedikit menggigil. Setelah merapikan rambutnya yang belum tersentuh sisir sejak siang hari tadi, dia melanjutkan perjalanan dengan tatapan yang tidak bisa terpusat pada langkahnya.
Berbeda sekali. Jauh berbeda dari rumah-rumah penduduk dusun yang terbuat sederhana dari kayu atau semen usang yang dilewatinya tadi. Rumah besar di hadapannya terlihat memancarkan sinar-sinar lampu yang berlainan warnanya. Hanya beberapa jendela di lantai dua yang terlihat bercahaya putih, yang lainnya memendarkan cahaya kuning yang lembut lewat teralis-teralis berwarna putih pucat yang membingkai jendelanya. Adapun, dinding rumah yang tidak dilapisi cat itu terlihat gelap. Batu bata merah yang terangkai dengan cermat terlihat pecah di sana-sini. Bisa jadi disebabkan oleh batu-batu hitam kasar yang berserakan di sekitarnya, sebab jelas sekali batu-batu itu bukan bagian dari penataan halaman rumah ini.
Pohon-pohon berbatang lurus dan tinggi terlihat memenuhi sisi jalan, daun-daunnya yang bergemerisik tertiup angin menutupi sebagian pandangan di atas kepala Gon dari melihat bentuk atap rumah itu. Mencolok sekali ada rumah sebesar ini di sebuah dusun pinggiran yang nyaris dilupakan orang. Seharusnya sudah dari tahun kemarin seseorang menawarkannya ke kantor! Satu hal yang pasti, rumah ini berusia—mungkin—ratusan tahun, harganya akan sangat membutuhkan pertimbangan dari seluruh rekan kantornya pekan depan. Atau tidak sama sekali. Gon bisa saja meninggalkan rumah ini di tangan pemiliknya tanpa repot-repot menantang dirinya lagi seperti ini. Mendatangi rumah tua pada malam terdingin yang pernah dirasakannya!
Gon merasa lega lampu kecil di sisi pagar rumah ini masih berfungsi dengan baik. Dia sudah menelepon sebelumnya, maka dengan hati-hati dia mendorong pagar kayu lapuk di depannya untuk masuk. Derit suara yang ditimbulkan pagar itu tidak membuatnya takut. Oh, tidak, dia lebih mencemaskan reaksinya ketika bertatap muka dengan sang pemilik. Kantornya yang bergaya modern dengan nuansa cerah saja seolah menjadi sendu ketika surat-surat yang dibarengi paket bunga krisan memasuki ruangannya. Surat-surat yang memintanya berdialog dengan pemilik rumah agar menukarkan kemegahan ini dengan sejumlah uang. Padahal itu bunga yang indah! Gon membayangkan penolakan yang akan dilayangkan pemiliknya. Dia akan memasuki sarang, apa yang mungkin terjadi? Tidak bisa terbayang, tepatnya  dia tidak ingin membayangkannya. Klien yang meminta transaksi ini adalah seorang yang amat berpengaruh. Bagi dirinya, usaha kantornya, bahkan bagi pemilik rumah itu sekalipun! Kehancuran akan melanda siapa saja yang berani menghalanginya. Rekan-rekan kerjanya sudah menyetujui keputusannya. Atasannya bahkan memaksanya. Pegawai muda macam Gon tidak akan mengambil resiko kehilangan semua hal itu demi membela sebuah rumah tua.
Gon mengangguk patuh. Dia berjalan dengan sigap dan tiba di depan sebuah pintu jati yang masih terlihat kuat untuk ditabrak mobil sekalipun. Sedikit berdeham, kemudian digerakkannya tangannya mengayunkan pengetuk pintu berukiran –entahlah. Mungkin Tengu, hanya saja hidungnya tidak sepanjang itu.
Pintu dibuka tanpa suara oleh seorang lelaki setengah baya yang mengenakan pakaian pelayan tradisional. Setiap helai rambutnya berwarna putih, matanya yang kecil dan tajam terlihat mengamati Gon dengan seksama. Dia mengucapkan selamat datang dan mempersilahkan tamunya masuk ke sebuah aula besar. Dari suaranya, Gon mengenali bahwa pelayan inilah yang selalu menjawab telepon setiap kali dia menyepakati perjanjian dengan pihak pemilik rumah.
Gon menyusun pendapatnya sendiri mengenai aula ini saat memasukinya. Sunyi. Itu yang paling mudah untuk dikatakannya. Tidak ada perabotan rumit yang menghiasinya, hanya beberapa meja dengan ukiran menghiasi setiap kakinya, beberapa wadah besar yang ditutup rapat di sudut-sudut ruangan, satu pot berisi setangkai rumput kering, juga sebuah lampu gantung yang terlihat memantulkan cahaya pada kaca-kacanya yang rapuh. Lampu itu tidak menyala. Bau debu menjumpai indera penciumannya. Semua yang ada di sini benar-benar tua, tapi cukup berharga. Benda yang paling menarik perhatiannya adalah sebuah bingkai emas raksasa yang sudah nyaris tertutup seluruhnya oleh debu, bahkan sedikit sarang laba-laba, tidak jelas siapa yang terlukis di sana. Gon menaksir harganya. Bingkai itu terpasang dengan megah di dinding yang kosong, menjadi pusat dari aula yang mungkin dapat menampung lebih dari lima puluh orang ini.
Derit yang dihasilkan oleh daun pintu yang dibukakan si pelayan mengalihkan Gon dari memandangi lukisan itu lebih lanjut. Pemuda itu menelan ludah, kemudian mengikuti si pelayan memasuki sebuah ruangan yang –astaga, apa mereka kehabisan minyak tanah untuk lampunya? Kedua mata Gon yang berwarna hitam cemerlang dibukanya lebar-lebar, berusaha menatap. Itu dia. Hawa dingin pada kamar ini menyiratkan seolah semua jendelanya telah dibuka lebar-lebar, membiarkan udara malam yang berkabut untuk masuk dan melingkupi seluruh perabotannya seolah tidak ada seorangpun manusia akan berdiam di sana, tapi itu dia.
Di antara beberapa kursi tua dengan pola ukir yang sama dengan meja dan dindingnya, tampak menonjol sekali sebuah kursi raksasa, lebih besar dan lebih rumit, serta lebih bersih dibandingkan kursi lainnya. Adapun, kursi ini tidak terlihat lebih hidup meskipun di atasnya duduk seorang perempuan berusia setengah baya, dengan tubuh jangkung yang dilapisi mantel abu-abu dan sepasang sandal yang sama sekali tidak terlihat manis. Matanya yang berwarna kelabu menyipit di atas lekuk senyumnya yang tidak wajar, tidak bagi Gon, dan memberinya  pandangan sinis langsung menembus kepala tamunya yang berdiri mematung. Perempuan tua itu mengangkat tangannya sekilas, mempersilahkan Gon untuk duduk sebelum mengembalikan posisi tangannya ke lengan kursinya seperti semula. Selain itu, dia tidak menggerakkan anggota tubuhnya sama sekali. Jangankan berdiri untuk menyalami tamu, rambut kelabu yang terjuntai di atas bahunya saja tidak terlihat menganggu perhatiannya.
Gon duduk, dia mengeluarkan berkas-berkas yang sudah disusunnya dengan rapi dalam sebuah map bening dari tas. Di dekat sikunya, si pelayan meletakkan secangkir kopi hitam. Gon tidak akan menyadarinya seandainya saja aroma kopi itu tidak begitu menusuk hidung.
Dia sudah bersiap menghadapi reaksi apapun. Sebagian perjanjiannya telah disepakatinya lewat telepon, Gon hanya perlu memastikannya sekarang dan meminta pernyataan persetujuan secara jelas dan tertulis, hitam di atas putih. Dengan cermat dan hati-hati Gon mulai bicara, menjelaskan alur prosedur perjanjian yang sudah disepakati sebelumnya.
Waktu seolah berjalan lama sekali bagi lidah Gon yang terus bicara dengan gaya bahasa yang sopan dan sedikit mendesak. Nyonya rumah itu tidak terlihat mendengarkannya, tapi kepalanya bergerak sedikit—Gon sadar itu dimaksudkan sebagai anggukan beberapa saat kemudian—tanda setuju.
Oh, benarkah? Ini berarti besar baginya!
Maka Gon tidak membuang-buang waktu untuk mengulangi penyataannya. Dia mengambil pena dan dengan tekun menulis pernyataan-pernyataan pada beberapa lembaran kertas berwarna biru dan hijau sementara pelayan tua di sampingnya membubuhkan cap keluarga –sudah lama sekali Gon tidak melihat tanda terima semacam itu—dan menyerahkan kopiannya pada nyonya rumah.
“Di sana,” suara yang keluar dari sepasang bibir tipis itu terdengar lirih, seperti berbisik. “Anda bisa keluar dari pintu kebun. Ikutilah jalan setapak dari pintu itu.”
Pandangan Gon mengikuti arah lambaian tangan nyonya rumah, kemudian dia mengernyit. Jendela? Itu lebih pantas dikatakan jendela daripada pintu! Tetap saja dia membereskan dokumennya dan melangkah di belakang si pelayan dengan kepatuhan seekor anak ayam mengikuti induknya.
Tanpa disadarinya, nyonya rumah dan pelayannya memperhatikan kepergian anak muda yang membawa berkas-berkas transaksi itu dari balik jeruji jendela. Wajah keduanya tidak terlihat senang.
Keluar dari pintu semen berukiran unik yang terlihat belum termakan usia, Gon menemui sebuah taman yang sudah usang sekali. Begitu berbeda dengan halaman depan rumah yang terihat ditata rapi, taman ini terlihat seperti tidak pernah dirawat dengan baik, bahkan dia akan ragu apakah ada manusia yang pernah menyentuhnya kalau saja dia tidak baru berjumpa dengan pemilik rumah. Baunya aneh, seperti hutan belantara tanpa sentuhan kesegaran alam. Amis pula. Pokoknya, urusan ini sudah selesai. Rumah ini akan segera diberikan kepada pemilik baru yang pasti akan menyulapnya menjadi tempat mewah—jauh lebih baik dari ini.
Gon menelusuri jalan berbatu yang rusak termakan cuaca dan hewan liar, kemudian dia sampai pada jalan raya tempat ia turun dari bus beberapa jam lalu. Bagus, bus baru akan datang setengah jam lagi. Gon mendecakkan lidahnya dan menoleh ke kanan-kiri. Udara terlalu dingin untuknya berdiam diri di sana. Maka diputuskannya untuk berjalan, setidaknya hingga sampai pada halte bus selanjutnya saja agar dia bergerak dan mendapat sedikit kehangatan pada tubuhnya.
Telinganya seperti menangkap suara gemerisik yang tidak wajar. Tidak mungkin nyonya itu lupa untuk menghadiahinya serangkai bunga kamboja dan menyuruh pelayan tua itu menyusulnya, kan? Dengan malas Gon menoleh ke belakang, mencoba mencari-cari bayang-bayang rumah besar yang ditinggalkannya tadi di antara kabut. Ah, itu dia. Tidak ada yang aneh… Hanya lampu jalan itu saja yang mulai meredup cahayanya dan—
Seluruh lampu di sekitarnya padam.
Dusun tua itu tiba-tiba menjadi gelap gulita dengan matinya lampu-lampu di sana. Mati listrik? Tidak aneh untuk sebuah dusun yang sepi dari pengunjung, bahkan tidak terdengar kepanikan sama sekali dari rumah-rumah penduduk yang menutup pintu dan jendelanya rapat-rapat. Gon mengerjapkan matanya. Kabut ini seperti mengelilinginya dan mencekamnya dengan hawa dingin yang luar biasa. Matanya belum terbiasa dengan gelap dan penciumannya menangkap bau minyak. Kepalanya menjadi pusing. Dia kesulitan mengambil langkah dan kemudian terjatuh.
“Aduh,” serta merta anak muda itu mengumpulkan kembali isi tasnya yang berhamburan ke jalan. Dibantu oleh senter yang ditemukannya pertama kali, dia menyusun kembali berkas-berkas rumah tua tadi. Sambil menggerutu, pikirannya berputar ke mana-mana. Tiba-tiba dia membelalakkan matanya dan merapatkan jemarinya pada lembaran kertas yang sudah dirapikan itu. Cap tanda terima yang dibubuhkan pada suratnya tersamarkan oleh lumpur!
Baru disadarinya bahwa wajahnya pun kotor belepotan lumpur saat ia jatuh tadi. Rumput liar di sekitarnya basah, bebatuannya pun lebih berantakan dari yang dia amati sebelumnya. Genangan di sana sini terlihat pada saat cahaya senter menyoroti sekitarnya. Gon sama sekali tidak merasa hujan turun sore hari ini. Lagipula ini bukan bau hujan yang mengguyur tanah. Sepertinya dia terlalu fokus pada pekerjaannya,  bahkan dia baru merasakan tubuhnya kuyup! Jatuh ke mana dia tadi? Gon bangkit dan berpikir.
Gawat, dia harus menyusun kembali perjanjian dengan tuan tanahnya. Noda samar seperti ini tidak akan berhasil jika dibawa kepada rekan-rekannya, apalagi kepada kliennya! Dia harus kembali. Yah, nanti. Pada saat dia punya waktu lagi. Kapan? Gon menoleh ke arah rumah itu lagi dan—matanya tersilaukan, dia tidak percaya!—mendapati kobaran api telah melahap bangunan yang baru saja ditinggalkannya itu.
Lemas, pemuda itu membiarkan berkasnya berserakan kembali. Terbayang di matanya sebuah keruntuhan. Perjanjiannya habis sudah.