Sebuah tulisan
untuk Mata Kuliah Penulisan Populer
Napasku tersengal. Gila! Seharusnya
aku tidak bekerja sama dengan orang-orang itu! Hidungku kembang kempis tanpa
irama, hasil dari berlari tanpa henti. Langkah kaki yang terburu mulai
melambat. Hampir mati rasanya. Entah sudah berapa jam berlari, aku sama sekali
tidak memperhatikannya. Mataku sudah terbiasa dengan kegelapan, tapi sama
sekali tidak kuperhatikan jalan di bawah sepatu usangku. Di pipiku masih ada
jejak tangis. Pengecut memang. Sudah seberapa jauh kutinggalkan tempat itu? Ah,
aku tidak bisa memikirkannya. Aku meninggalkanmu. Wajahmu. Lari! Itu saja yang
ada dalam pikiranku.
Ponselku bergetar.
Tanganku juga gemetaran saat merogoh kantung jeans belel yang kukenakan untuk
meraih teknologi murah itu. Nyaris terselip jatuh, tanganku licin oleh
keringat. Kusahuti panggilan dengan kedua tangan memegangi ponselku.
“Apa? ..Entahlah,
aku tidak tahu! Masih gelap … apa maksudmu? Itu bukan salahku! Kau sendiri lari
seenaknya seperti ayam! Hancur semua! …hei!”
Suara di seberang
berubah menjadi dengingan keras yang menyakitkan telinga. Asal saja kutekan
tombol-tombol itu. Baterainya nyaris habis. Aku mengumpat. Tidak sempat
kutanyakan di mana keberadaannya dan dia sudah memutuskan pembicaraan, kurang
ajar!
“Aku tahu kau bekerja untuknya.”
Tiba-tiba aku merinding. Tersentak.
Terdengar suara-suara di belakangku. Keramaian pagi, baru kusadari matahari
sudah memanjangkan sinarnya dan menemukanku yang berada di balik balok-balok
kayu. Kupaksakan kakiku untuk berlari lagi.
“Kopi hitam?”
tanya bocah itu.
“Iya, hitam.”
Ujarku tanpa melihat wajahnya. “Kau punya, kan?”
Bocah lelaki
belasan tahun itu mengangguk-angguk canggung, lalu mulai menyeduh. Mungkin
masih terlalu pagi untuk seorang lelaki tua berwajah buruk menyelinap warung
yang baru saja diangkat tirai penutupnya. Apalagi kemeja yang kukenakan ini
sudah basah oleh keringat. Warna biru motif kotak-kotaknya terlihat seperti
ungu. Jika kucuci dengan baik, noda merah di sana tidak akan terlihat lagi. Sudah
tiga hari aku berjalan. Pasti sangat buruk kelihatannya. Uangku sudah habis.
Bocah itu masih menatapku. Saat
kubalas tatapannya, ia jadi terlihat panik dan terburu-buru. Bah, apa ini
masalah? Yang kuminta hanya secangkir kopi.
Aku tidak bisa
memusatkan perhatian. Leherku terus bergerak mengikuti kepalaku yang terus
menoleh dan mendongak. Warung-warung lain terlihat mulai sibuk, mereka membuka
pintu dan menata bungkus-bungkus minuman instan. Di jalanan pun para pedagang
kaki lima sudah mulai beraktivitas. Beberapa pembeli sudah berdatangan. Ah,
pasar. Terakhir kali aku datang ke pasar seperti ini, yang kudapat hanya
keluhan dari perempuan yang tidak mengerti apa-apa! Tentu saja. Wajahnya baru akan
menampakkan seringai tipis ketika berada dalam toko yang dipenuhi kilau permata.
Jantungku
berdegup. Aku tidak ingin mengingatnya. Wajah penuh riasan yang muncul dalam
benakku menjadi kabur dan berganti-ganti. Wajah itu tertawa. Mengerut. Kemudian
bersemu. Bukan, ketakutan. Tidak, tidak. Air matanya nyata sekali, berbeda dari
yang sebelumnya. Tertawa lagi.
“Menurutmu aku
bisa meminta dibelikan yang ini?” Suaranya berdesir di dalam kepalaku. Suara
yang manis dan sedikit serak. Kikik tawanya khas sekali. Terngiang-ngiang. Bayang-bayang
kerut kecil pada sisi matanya menghiasi senyuman lebar yang menampakkan deretan
gigi putih memukau. Senyumnya tidak ditujukan padaku. Padahal aku bisa
membelikan itu seandainya orang yang dia perhatikan itu menggajiku lebih baik
lagi. Perempuan itu menatapku, tapi jauh. Gambaran itu berpendar dan
berganti-ganti. Kepalaku berdenyut, wajah itu menghantuiku sepanjang pelarian
malam-malam kemarin. Matanya terbelalak dan senyumnya rusak. Tapi tawanya tetap
bergema di telingaku. Sakit sekali kedengarannya. Kupejamkan mataku kuat-kuat.
Matanya menangis…
“Bung, kau
kenapa?”
Keras kuangkat
kepalaku. Di sampingku duduk seorang laki-laki berseragam cokelat. Kulitnya
keling dan matanya hitam legam. Wajahnya bertanya, namun pada saat yang sama
juga menunjukkan rasa tidak ingin tahu.
Kuturunkan telapak
tangan dari telingaku. Aku menggeleng kecil dan melontarkan pandangan “bukan
urusanmu” sekilas. Meskipun aku yakin, lingkaran hitam di bawah mataku pasti
akan melemahkan sorot mata sok kuat yang kupancarkan. Sial, aku melemah.
Pelarianku sudah berhasil dan tidak ada jejak yang kutinggalkan sehingga polisi
tidak akan mengejarku lagi. Tetap saja jiwaku sudah surut, kepalaku dipenuhi
berbagai hal yang tidak bisa lepas dari bayang-bayang waktu bersamamu. Aku
tidak punya tujuan lagi.
Lelaki di
sampingku kembali pada piring gorengannya. Wajahnya terlihat santai, tidak
adakah beban pikiran di kepalanya yang berambut cepak itu? Dia meminta air pada
si bocah sambil membicarakan banyak hal. Kubiarkan mereka berbincang tanpa
memperhatikan sedikitpun.
“Kopinya keburu
dingin, bang.” Bocah warung itu mengingatkan. Aku baru sadar bocah itu sudah
berganti pakaian. Seragam merah putih yang dikenakannya terlihat lusuh. Ia
membenarkan letak topinya yang kebesaran. Heh, baru sekarang kuperhatikan
wajahnya. Anak ini seharusnya sudah SMP.
“Kalau aku
punya anak, lebih mudah menarik dia untuk bersamaku, bukan?”
Aku menggeleng
kuat. Kamu tidak sadar! Tidak pernah sadar! Kenapa wajahmu begitu sumringah
setiap kali membicarakan orang seperti itu, heh! Kau tidak pernah cukup dengan
apa yang kuberikan padamu! Napasku memburu lagi. Tanganku gemetar. Suara-suara
yang lain terdengar di telingaku. Suara-suara para laki-laki.
“Kau seharusnya
mengawasinya. Jangan biarkan ia bertingkah!” diikuti bayang-bayang uang. Harta
semu! Sudah lama kubiarkan lembar-lembar baru itu teronggok begitu saja di
bawah bantalku. Di saat aku memerlukannya, ia tidak pernah ada! Mana sempat aku
mengambilnya, kamar itu pasti sudah dibuat porak-poranda oleh mereka.
“Kau cukup
mengawasi di sana.”
Kemudian bayang-bayang itu.
Bayang-bayang mengerikan yang terbungkus kegelapan malam. Bayang-bayang
yang mungkin akan menghantuiku seumur hidup.
“Di sini bukan lagi tugasmu!
Pergilah! Kau tidak diperlukan lagi jika sudah terlalu banyak tahu,”
…dan aku meninggalkanmu. Menjauh
lagi. Hanya saja, kali ini lebih buruk. Meninggalkanmu berarti membiarkanmu
meninggalkanku. Takkan lagi kutemui ringis kecilmu.
Denting gelas
membuat mataku terbuka.
“Kau dengar ribut-ribut
beberapa hari ini? Sepertinya ada maling atau apa,”
Mataku terbelalak.
Kujaga agar wajahku tetap menatap gelas kopi yang baru terminum tidak sampai setengahnya.
Mereka tidak bermaksud apa-apa. Ya, tidak. Aku mendongak menatap jam dinding
yang agak retak di sisi warung. Sebentar lagi bocah ini toh akan pergi
bersekolah. Hmh, masih ada waktu untukku berlari sedikit lagi. Pasar masih
ramai.
Kukeluarkan receh
yang tersisa di kantungku dan mendentingkannya di atas piring. Terima kasihku
hanya berupa gumaman, entah didengar atau tidak, segera saja aku menyibak tirai
warung dan memasuki keramaian pasar.
“Ini bukan
salahmu, kok.”
Aku tahu itu. Aku
tahu, tapi aku membiarkanmu! Beberapa kali mereka mengingatkanku bahwa aku
hanya perlu mengawasimu. Tapi mengasihimu adalah satu hal yang tidak bisa
kuelakkan. Matamu membawaku dalam dunia khayal. Matamu yang kemudian menatapku
bersimbah darah.
Kubawa kakiku
berlari begitu kudapati diriku berada dalam sebuah pemukiman. Berpapasan dengan
beberapa anak sekolah dan para pegawai kantoran. Seharusnya aku menaiki
kendaraan umum dan pergi jauh, tapi kantong yang hampir tak berisi ini
mencegahku melakukan itu. Aku hanya terus berjalan dan mendapati jalan raya
yang sudah ramai.
Sejak dulu aku
berada di dekatmu. Diperintahkan menjaga jarak sekalipun, aku masih di dekatmu.
Matamupun tidak melihatku, tapi aku melihatmu. Aku tersenyum kecut. Di saat
matamu membelalak menatapku, aku pergi. Aku menjauh, dan kau meninggalkanku.