Tanganku
sibuk menyiapkan wajan, talenan, pisau dan minyak. Kutemukan sekotak tauge di
lemari es, disusul kemudian bakso dan daun bawang. Aku mengernyit.
“Bu,
bawangnya di mana? Di dekat tempat beras ataupun kulkas nggak ada,” seruku
sambil memunculkan kepalaku di pintu kamar paling kokoh di rumah ini, kamar
orangtuaku.
“Bawangnya
ada di lemari di bawah kompor,” jawab ibu, memunggungiku, entah sedang
mengerjakan apa. “Satu aja ya Rin bombaynya. Bawang putihnya beberapa saja,”
tambahnya ketika aku sudah berbalik hendak ke dapur lagi. “Bawang putihnya dikeprek
aja.”
“Aku
ngerti,” ujarku cepat, meskipun telingaku masih menangkap beberapa perintah ibu
lainnya. Aku kembali dan menemukan beberapa bongkah bawang putih bersama dengan
bawang-bawang lainnya. Saat itu aku tidak begitu tahu fungsi bahan-bahan
lainnya. Lamat-lamat aku mulai menghancurkan bawang-bawang putih itu dengan
pisau. Ada wangi yang khas menyapa hidungku, aku tersenyum mengingat bahwa
wewangian yang seringkali membuatku masuk dapur dan bertanya-tanya “masak apa
hari ini?” hanyalah wangi bawang putih yang dirajang.
Saat aku
beralih pada bawang bulat berlapis-lapis kehijauan yang basah setelah kucuci,
aku menyeringai. Bawang bombay itu terlihat menyegarkan, renyah dan manis, tapi
mengerikan. Aku sendiri heran bahwa mengiris bawang itu tidak membuatku
meringis dan meneteskan airmata seperti biasanya. Setelah bawang putih itu
kurasa sudah cukup harum, aku menunggu lagi sebelum memasukkan bawang bombay.
Bukan apa-apa, hanya keisengan belaka. Aku suka mencium baunya.
Sedetik
sebelum aku memasukkan bawang bombay itu ke dalam wajan, aku berpikir. Tidak
ada wewangian khusus yang melewati penciumanku. Aku melanjutkan dengan
bahan-bahan lainnya.
Hari itu
adalah pertama kali aku memasak utuh sejak masuk sekolah lagi. Terakhir kali
aku membantu ibu atau sekedar iseng membuat sesuatu, aku tidak ingat kelas
berapa. Sejak masuk SMA, aku jarang berada di rumah. Duniaku berputar di antara
rumah dan sekolah saja, bahkan lebih banyak di sekolah. Kalau diingat, semangat
sekali aku aktif di berbagai kegiatan organisasi dan ekstra kurikuler, termasuk
OSIS dan Rohis. Memasak seperti ini lebih sering kulakukan saat dauroh,
membantu teman-teman yang bertugas menyiapkan konsumsi sebelum materi selesai
disampaikan oleh pembicara. Jarang sekali aku memasak di rumah. Kalaupun
pernah, itu untuk diriku sendiri. Aku ingat seorang adikku pernah mengiris
jarinya sendiri, membuatku tertarik dan memikirkan kemungkinan aku mengiris jariku
seperti itu juga. Aku juga ingat temanku yang pandai memasak, selalu mengambil
bawang dari tanganku dengan alasan aku terlalu lama mengupasnya. Aku hanya
berdecak santai mengingatnya. Biasanya, aku tiba di rumah pada malam hari.
Paling cepat, saat Maghrib aku baru turun dari ojek di depan gang rumah. Hari
libur aku pergi lagi, entah rapat, mengaji, atau sesuatu seperti itu di
sekolah. Rumah menjadi tempat tinggal yang nyaman bagiku, untuk aku
beristirahat dan paginya kembali ke medan juang.
Bagamanapun, aku
merasa senang bisa memasak lagi hari itu.
Hari-hari
berikutnya aku melanjutkan “order” ibu, membuatkan masakan yang sebetulnya aku
tahu hanya sedikit di antara keluargaku yang memakannya. Awal liburan sudah
kumanfaatkan dengan berbagai kegiatan, maka kali ini aku ingin sekali-kali
memasak di rumah lebih banyak dari biasanya. Berkali-kali aku menggunakan
bawang-bawang itu, aku mulai terbiasa untuk tidak waspada di hadapan bawang
bombay. Tentu saja, sebab beberapa kali aku mengirisnya, sedikit atau banyak,
bahkan menyimpannya dan membauinya, mataku masih segar seperti biasa. Aku
bahkan lupa berapa takaran yang semestinya kusiapkan, berapa garam yang harus
kutabur, saking terbiasanya aku memasukkan seluruh bahan ke wajan. Menunya
kurang lebih selalu sama. Sayur itu, bakso itu, sosis itu, telur, masak nasi,
tabur lada, semuanya, dan iris bawang. Aku tahu ibu hanya tidak ingin
memberatkanku dengan menu macam-macam yang sangat pandai ia siapkan.
Tapi aku paham
sifatku, kadang aku ini tidak bisa diandalkan.
Pagi itu, aku
bangun lewat dari pagi. Pagi yang sejuk di hari Jum’at. Aku sudah
memperingatkan diriku untuk menaruh perhatian pada kajian siang nanti,
mempersiapkan kata-kata yang hanya kurangkai dalam kepalaku. Semalam aku
membaca hingga larut, menyelesaikan buku yang sudah lama kubeli. Bukan tidak
sengaja aku berdiam di kamar, hanya sekadar tidur-tiduran dan memikirkan akan
menyampaikan apa pada anak-anak di sekolahku nanti. Setelah menghabiskan waktu,
aku sadar ibu sudah memanggil-manggil. Ups.
Aku turun ke
bawah dengan berbagai perlengkapan, bersiap untuk pergi. Ibu ada di kamarnya,
melakukan sesuatu di depan cermin.
“Masak nasi ya
Rin, terus buat sayur lagi. Hari ini daging ikannya..”
“Iya Nanti,
mandi dulu” kataku memotong, segera bergegas masuk kamar mandi. Aku benar-benar
merasa bodoh, terlena dengan liburan. Sudah cukup aku memasak dan melakukan
hal-hal itu kemarin.
Hari ini aku
harus fokus pada materi kajianku. Anak-anak itu sudah beberapa pekan ini tidak
kutemui, karena merekapun libur. Liburanku bukan berarti liburan dakwah. Ah, aku
medapat ide untuk pertemuan nanti. Senyum menghiasi wajahku, seperti anak
kecil.
Aku sudah
mempersiapkan barang-barang bawaanku di sofa, bersiap untuk pergi. Sebelum itu,
aku menghampiri ibu yang sudah terdengar omelannya dari dapur.
Ibu sedang
mencuci beras. Aku menghentikan langkahku menuju lemari es untuk mencari sayur,
sebab kulihat sayur dan bahan-bahan lainnya sudah terpotong-potong rapi di
pinggir wastafel. Aku menyeru kagum, tapi rupanya ibu tidak begitu senang.
“Ibu harus
memanggil sampai berapa kali? Anak-anak ibu kok susah banget dimintai tolong.
Dipanggil-panggil nggak ada yang jawab. Cuma masak gini aja, kok, nggak ada
kesadarannya sedikitpun.”
Eits, aku tahu
sifat ibu yang satu ini. Tidak akan berhenti. Oke, aku punya alasan-alasan yang
membuatku bisa menganggapi omelan itu, tapi tidak kuucapkan. Aku beralih pada
baskom berisi sayur-sayur. “Buat sayur ini lagi, bu? Kemarin dulu aku buatnya
kebanyakan,”
“Ambil bawang
yang agak besar. Bawang putihnya segini,” jawab ibu datar sambil menggapaikan
tangannya ke baskom.
Kurang nih,
aku harus bicara lebih banyak lagi. “Aku selalu nggak bisa melumatkan bawang
putihnya nih,”
“Pakai batu
dong! Pakai pisau memang lemah. Makanya pakai batu, digerus..”
“Iya oke aku
ngerti, aku saja yang kerjakan, bu.”
Ibu kemudian
membuat adonan tepung, tapi aku tidak begitu melihat apa yang dikerjakannya. Ia
memunggungiku dan mulai mengomel lagi. Sesaat, aku mengutuki adikku yang ada di
ruang tengah, berharap ia datang untuk membantu atau sekedar menyenangkan ibu
kembali.
“Masa
mengerjakan ini harus selalu ibunya, apa gunanya punya anak-anak perempuan? Ibu
kan mendidik kalian juga, tapi nggak begini. Jangan selalu bergantung sama
orangtua,”
Lah dari
kemarin aku ngapain? Main boneka?
“Ibu sudah
panggil-panggil dari pagi, nggak ada yang turun. Pas satu turun, langsung
mandi, buru-buru mau pergi. Nggak boleh begitu,”
Aku mulai
melumatkan bawang putih. Hore, lebih lumat daripada biasanya. Kenapa nggak dari
dulu aku memakai ulekan batu? Karena aku terpaku pada cara orang-orang yang
kulihat sebelumnya, dari ibu sampai teman-temanku, yang melumatkannya hanya
dengan pisau. Kali ini, aku belajar satu hal lagi. Tidak seharusnya aku terpaku
pada perbuatan orang lain. Jika ada cara yang lebih baik, lakukanlah.
Aku tidak
sadar bahwa saat itu aku mulai melamun, sedangkan ibu memperhatikanku.
“Kamu mau
ngapain sih ke sekolah?”
Wua, omelannya
masih berlanjut. Yah, tapi syukurlah sudah melunak. “Aku ada kajian, hari ini
kan hari Jum’at. Nanti aku berangkatnya siang,” tambahku cepat agar tidak
terlihat menolak pekerjaan yang sedang kulakukan ini.
“Makanya kalau
dipanggil orangtua tuh nurut, bangun yang cepat supaya bisa langsung selesai
semuanya,” kembali lagi.
Ibu berbalik
dan melanjutkan dengan adonannya. Ada bunyi-bunyian sesuatu membentur sesuatu,
serta bunyi riak yang ditimbulkan oleh adonan tepung dan telur, tapi ibu masih
memunggungiku.
“Turunnya
ketika ada perlu doang. Rumah ditinggal. Anak-anak pergi terus keluar, nggak
mengerjakan pekerjaan di rumah. Tapi kalau orangtua yang mengerjakan, semuanya
wajar! Karena itu pekerjaan orangtua, anak-anak sih tunggu disuapin aja,”
Lah yang lagi
ngulek bawang ini siapa? Jin?
“Kamu tuh nggak
boleh begitu, rumah juga punya hak atas kamu,”
Tanganku
terhenti sejenak. Aku lalu menyingkirkan serpih-serpih bawang putih itu dan
menarik bawang satunya. Duh, betapa kata-kata bisa sangat bermakna.
“Orangtua yang
melakukan semuanya, itu wajar kalau anaknya masih pada kecil-kecil, masih bayi,
belum bisa melakukan apa-apa! Tapi ini, anaknya perempuan, kok tetap orangtua
yang melakukan semuanya? Dipanggil-panggil nggak turun juga!”
“Enak ya semuanya dilakukan orangtua! Nanti
apa jadinya hidup kalian! Memangnya orangtua akan ada terus!?”
Aku tidak
menemukan keinginan untuk pergi ke sekolah lagi. Sesuatu dalam diriku memaksaku
untuk membuka hati dan mendengarkan, betapapun banyaknya alasan untuk melawan.
Wah, apa jadinya kajianku hari ini..
“Nanti kan
kalian hidup sendiri. Gimana jadinya kalau ibu sudah meninggal!?”
Prakk!
Benar-benar irisan yang buruk pada lapis bombay yang mulai terpecah belah.
“Makan apa
kalian nanti? Nggak ada yang masak! Ini juga kalau ibu nggak melakukan ini,
nggak ada yang masak!”
Pasti ada. Ibu
kan tadi sudah berpesan. Aku akan melaksanakannya begitu ada kesempatan.
“Oh! Gampang
ya? Tinggal minta uang aja, beli makan di luar! Kalau orangtua sudah tidak ada,
minta uang sama siapa!?”
Mataku
menyipit. Mencoba fokus mengiris sama rata. Entah kapan, adikku sudah masuk dan
menghampiri ibu. “Ya sudah sini, aku saja yang mengerjakannya.”
Untuk beberapa
lama, ibu masih mengomel dan adikku tetap memintanya gantian memasak.
Ucapan-ucapan ibu masih sama. Setelah beberapa kali mengomel lagi, ibu
meninggalkan dapur. Sesekali keluhannya masih terdengar.
Adikku
mengambil kendali. Ia mulai menyalakan kompor. “Sini kak, pakai wajan yang
ini.” Ia mempersiapkan wajan satunya untuk menggoreng ikan.
Aku bergeming.
Masih mengiris bombay. Dalam kepalaku sudah tersusun kata-kata maaf pada
adik-adik di sekolahku. Betapapun salah, betapapun tidak berhubungan, banyak
pelajaran yang masuk dari makian ibu, meski tidak ditujukan pada siapapun.
Sial, mataku
perih. Sekarang bombay ini seperti mengajak perang. Aku tidak benar-benar punya
pelindung gas, kau tahu.
Bombay menyakitkan,
jangan membuatku menangis sekarang.
_Kamar Kalibata, 16 Januari 2012,
02.35