Senin, 17 Desember 2012

Hari ini...


Hari ini aku tak bertanya..
Hanya diam menatap refleksi pada jendela gerbong
Memikirkan hal yang sama, setiap malam
Tapi malam ini aku tak bertanya…
Malam ini tiada protes yang keluar dari mulut jahilku
Akan gelapnya, akan terangnya lampu dalam kereta
Yang membutakanku akan jalan raya di sana
Malam ini aku tak bertanya
Sebab aku tahu di mana dirimu
Apa yang kau katakan, bagaimana gerak-gerikmu
Dan aku tahu dengan siapa kau bersenda gurau
                Malam ini, aku tak mencari-cari..
                Bayang-bayang gedung tinggi yang kau diami
                Bayang-bayang yang tak pernah kutemui
                Pasalnya, kau tak di sana hari ini..
Hari ini aku tak bertanya..
Kopi apa yang kau seduh sendiri
Catatan apa yang kau bacakan di pojok kiri
Sepatu apa yang kau kenakan di pagi hari
                Aku tidak lagi ingin meragu
                Sebab aku tahu kau tiada pikirkan aku
                Sebab kau tahu tiada lirik dapat kau lagu
                Sepercik, lirikpun terartikan ambigu
Malam ini aku tak bertanya
Usangnya jaket yang kau kenakan
Cintanya ibu yang terus kau elukan
Siapa, dalam pikirmu yang engkau angankan
Pasalnya, aku telah melaju dalam kereta perburuan
                Hari ini, aku tak lagi memusingkan
                Akankah kau ingat masa-masa sungkan
                Ataukah kau luruhkan dengan tawa ingatan
                Hari ini, ku tak tahu apa yang kau pikirkan
                Hari ini, ku tak bertanya apa yang kau minta
Malam ini, pandangan yang kabur pada jendela
Tak lagi meminta kedua mataku ‘tuk menjelajah
Sebab aku, tak ada lagi kata tanya..
                Malam ini, sosokmu yang gelap terang dan remang-remang
                Menggenggam harapan mencoba untuk terbang
                Aku tahu takkan lagi menengok ke belakang
Malam ini aku tak lagi bertanya..
Apa kabarnya dirimu yang di sana
Sebab aku tahu, dan aku percaya
Percaya…
                Malam ini aku tak ingin bertanya
                Hanya temaram yang lembut membungkus sukma
                Dalam terang, jendela gerbong yang terpana
                Aku pergi, berharap kau baik-baik saja
               
_Duren Kalibata, 10 Desember 2012, 21.05

Kamis, 27 September 2012

Pembunuh


Mimpi buruk.
Aku bahkan tidak tahu warna apa yang diperlihatkan sang dewa api. Kakiku berjalan tak tentu arah di atara hiruk pikuk manusa, penjaja. Mereka mengucap kata yang sama, kalimat yang sama. Dan sesekali melati terduduk terbujuk. Sedang mawar, terdiam memperhatikan, barangkali tak mengerti. Telinga pun bosan, mata lelah mencari. Ah.. Tetap dia yang protes, meminta lidah untuk mengumpat.
Sesak... Keramaian yang mengkungkung tanpa celah.
Gulungan putih bertebaran, tak beraturan. Si hitam jantan tergoda untuk meleburkannya, tapi aku tetap memaksanya berjalan. Toh mereka tak lagi menyala. Lagipula tidak ada yang sekesal dia, yang masih meminta lidah bicara.
Hiruk pikuk yang lembut sebenarnya, hanya tertutup kebosanan akan rutinitas. Sesederhana melati, mereka tetap tertawa. Melompat dari satu kotak ke kotak lainnya. Seakan terbiasa.
Senang, walau miris, tapi masih sesak...
Mimpi buruk. Hiruk pikuk anank-anak abu-abu meramaikan gerbong. Tawa yang seperti hantu, entah pengaruh tepung mana lagi...
Nyala itu, muncul lagi. Meski bulan telah menemani. Bukan, justru karena itu mereka semakin menyala. Hiruk pikuk beralaskan sneakers, terburu memanjati jendela. Aku tak keberatan.
Tuhan, hanya ada satu yang kukesalkan. Bahkan ketika tawa hantu itu terdengar kembali, aku hanya tertawa. Senyum di wajah pak tua sanggup mengalihkanku dari himpitan hitam reebook. Tak duduk pun aku tak apa, tergantung pun aku tak keberatan. Hanya satu, Tuhan, dalam kegelapan malam dan kekurangan cahaya gerbong, yang aku inginkan. Nyala itu. Aku tak apa tak mendapat cahaya, tapi kumohon jangan nyala itu yang ada. Tuhan, diri ini sesak. Dari hiruk pikuk komunikasi hingga hiruk pikuk anak gerbong. Aku tak apa, Tuhan, untuk berdiri dihimpit atau berjala tanpa henti. Hanya satu..
Kebulan yang mampu membuatku mati pelan-pelan itu, Tuhan, enyahkan dia.
_Stasiun Kalibata, 14April 2011, 20.00

Sabtu, 01 September 2012

Peminta

Detak.

Ah, sudah sejak dulu ia berdetak. Jika tidak, aku tidak membuka mataku sekarang.
Jadi kenapa?
Apa? Aku hanya merasa sesak sesaat, itu saja.
Jangan kau tanyakan lalu bagaimana, aku tidak tahu.
Mataku membelalak setiap kali melihatnya bicara, sebab ia tidak bicara denganku.
Apa? Oh, ya, aku mungkin terlalu terlena menatapnya.
Tak terbayangkan olehku bahwa aku bisa menemui orang yang sepertinya dalam hidupku.
Hidupku yang begini singkat, yang seringkali kukeluhkan.
Melihatnya, aku khawatir apakah hidupku lebih singkat dari yang kukira, ataukah lamanya kehidupan kemarin tidak kugunakan dengan baik?
Mungkin kau tidak mengerti apa yang kubicarakan, aku hanya kesulitan memutuskan.
Saat ia duduk di sampingku, kukira ia hanya sekedar pendatang.
Dan sekarang aku hampir-hampir menyesal membiarkannya berlaku demikian.
Kau tahu kenapa?
Ia membuatku berpikir dua kali. Ia membuatku berpikir berkali-kali.
Ia membuatku ragu apakah yang kulakukan adalah suatu perbuatan baik,
ataukah aku ini terlalu bodoh hingga ia bisa berlaku seenaknya padaku.
Tak banyak yang ia minta, kukira aku bisa memberikan sekenanya.
Tapi saat aku ulurkan tanganku, 
Oh, kau lihat sorot matanya?
Ia senang, namun
Aku bisa tahu bahwa saat itu, ia kehilangan semua kata-katanya.
Ia lupa, ia terbutakan oleh apa yang saat itu baru akan kuberikan.
Ada kabut licik tipis di matanya.
Ia seperti berkata, "mudah sekali"
Apa? Mempermainkanku tentunya.
Tapi yah mungkin aku memang bodoh, kau boleh mengejekku sesukamu.
Sebab aku tak bisa menarik kembali uluran tanganku.
Sedangkan musik mengalun di sepanjang jalan itu, aku pun tak bisa berpikir lagi.
Kau masih bertanya? Tentu saja kuberikan.
Aku mengejar waktu, jika kau ingin tahu.
Berusaha sekuat tenaga mengatakan bahwa itu adalah perbuatan baik, tapi
Aku tidak mengerti mengapa aku ragu
Ya, ya, katakan terus sebanyak yang kau mau
Aku memang sedikit, ah mungkin tidak, menyesal
Rasa takut melandaku membayangkan sosok anak-anak
Dengan pendidikan yang minim, dipanasi
Kau sering lihat? Mereka yang meminta-minta di sudut jalan bersama plastik tak terbakar.
Aku takut. Takut sekali.
Aku takut menjadi sebab akan keburukan yang melanda.
Aku takut akan orang itu,
Orang itu
Aku takut ia menjadi akar permasalahan.
Jika kau tanyakan lagi, kuberitahu.
Tidak ada masalah pada diriku. Aku tidak kekurangan sesuatu apapun.
Yang kuragukan adalah dampak perbuatanku, bukan apa yang kuberi.
Ya, ya, katakan lagi.
Aku memang bodoh.

Selasa, 19 Juni 2012

Melupakan


Angin dalam hati ini telah berhasil kuredam, agar tidak menimbulkan badai di masa depan..
Adapun begitu, masa-masa itu adalah kepingan kenangan, tidak akan kubiarkan ia melayang pergi..
Karena itu, sahabatku, bukan maksudku ingin melupakanmu..
Aku hanya ingin menjaganya..
Menjaga hati sebelum ia menangis sendu :)

_Ruang tengah Rumah Kalibata, 15 Januari 2012, 22.10

Perhatikan


Ketahuilah,
Bahwa kematian itu dekat..
Ia akan datang meski pun kalian tidak menginginkannya..
Seberapa kuat kalian menyambutnya?
Tidak bisa lari...
Bekal kalian masih sedikit,,
Semangat kalian masih hilang timbul..
Tidakkah kematian itu cukup menjadi peringatan?

_12Juli2011

Jika Kau Jatuh, Bukan Berarti Kau Tidak Bisa Bangkit Kembali


Ia tak sanggup 'tuk berujar. Di setiap kata hanya 'kan permalukan dirinya. 
Namun ia dituntut 'tuk jujur, dan saat dia memberanikan diri, pintu itu tak terbuka untuknya. 
Menyesal? 
Tidak, mungkin ia hanya diminta untuk bangkit berkali-kali. Sebab ia tahu yang terbaik akan datang padanya. 
Suatu saat, bukan detik ini. 
Mungkin justru ia akan hancur bila memasukinya, atau itu bukan pintu yang tepat untuk dimasukinya. 
Suatu saat, ia akan siap, berbekal kejatuhannya hari ini.

Wahai kawan yang kusayangi, kau takkan jatuh pada jurang, hanya sebuah kolam kecil yang asin dan penuh lumut. Kau bisa keluar darinya, dan kembali ke tempatmu meski tubuhmu basah kuyup dan kotor. Kau hanya perlu membersihkannya, menanggalkan kegelapan itu dan mengenakan kebaikan yang baru. Kau tahu kau bisa. Jika kau tidak bisa mendapatkannya di lemarimu, kau bisa membelinya. Bahkan kau bisa meminjamnya dari sang pemilik segala.
Kau tahu Dia mencintaimu.

Cahaya


..Hanya menatap pada rembulan, memikirkan cahaya yang redup.. 
Sungguh indah cahya yang terlihat hanya sekelumit itu mampu menerangi permukaan bumi.. 
Terlena kumenatapnya, merasakan embun bulan yang begitu dingin hingga hampir menyakiti... 

Cahaya itu, akankah ia terus mengikuti langkahku?

Sabtu, 16 Juni 2012

Gila S~


Tak mengapa diri ini bicara..
Ingin kukatakan demikian, dan memang itu yang terucap..
Namun bukan itu yang terasa di dalam hatiku...
Bukan lagi aliran-aliran kepedihan, yang biasanya menghantarku pada semangat juang
Sebab kini ia telah menggenang, membuat dasar hati ini berkerak dan kotor seperti karang..
Pernahkah kau lihat seorang gila, dan seorang yang hampir gila?
Aku tak dapat membedakannya, siapa yang patut dikasihani dan siapa yang mungkin dapat dirubah
Pernahkah kau mengidentifikasikan bahwa seseorang benar-benar gila?
Sedang beberapa hal yang dilakukannya adalah masuk akal, hanya kurang sedikit rasa malu..
Pernahkah kau perhatikan sahabatmu sendiri, membedakan antara indah dan buruknya?
Mungkin kau dibutakan oleh kelogisanmu, sedang tak semua hal dapat dijelaskan oleh logika..
Aku ingin tahu jika kau pernah merasa ingin menggenggam tangannya,
Bukan untuk mengajaknya dan bukan untuk menenangkannya
Tapi hanya ingin menggenggamnya karena itu menyenangkan bagimu
Aku ingin tahu jika kau pernah merasa ingin selalu bersamanya
Bersandar padanya dan disandar olehnya
Aku ingin tahu seberapa marah dirimu saat ia kesulitan
Dan tidak datang padamu, hanya tersenyum dan berlalu
Aku ingin tahu pernahkah kau sakit akan kepergiannya
Bukan karena kata atau perbuatan, hanya oleh bayangnya yang menjauh
Aku ingin tahu pernahkah kau merasa menyimpang, melakukan kesalahan
Bukan karena kerusakan, hanya karena perbedaan yang membentang
Aku ingin tahu jika kau pernah merasa sakit
Bukan fisik, bukan hati tapi pikiran
Aku ingin tahu jika kau pernah merasa sedemikian membutuhkan seseorang
Aku ingin tahu jika kau pernah merasa sepertiku

_24 November 2011

Rabu, 16 Mei 2012

Putih


Seperti air, seperti aku
Tenang pada wadahnya
Kukira begitu

Tapi ia bergelombang hanya dengan getaran kecil
Kadang keras, kadang lembut
Bukan tentang merah aku bicara
Tapi hitam...
Hitam yang menurut mereka kelam
Hitam yang menurutku sendu
Seorang gadis menghormat katakan sesuatu tentang merah
Bagaimana itu membuat badai, atau terpa angin sejuk
Aku tak menyangkal, tapi..
Merah menciptakan hitam dalam riak airku
Karma berlaku, adalah sesuatu yang tak terhindarkan
Berlama-lama kubermain dengannya,
Semakin jauh aku dari mengerti..
Maafkan aku..
Gelombang itu telah lebih tenang,
Hanya menyisakan riak yang lembut
Membelai kasih sayang
Tapi,
Riak itu terganggu, tak lagi stabil
Menerima merah yang lain, yang merona dalam genggaman
Aku takut mengakuinya, aku tidak seyakin dulu
Namun ini hanya menambah hitam dalam perciknya
Hitam yang tersendu..

Kau dan aku, kita mirip
Tapi tak pernah aku ingin menjadi seperti ini
Tak pernah aku ingin  menyentuhnya seperti ini
Rapuh..
Aku akan melebur jika datang padanya
Seperti guci yang pecah dan menyisakan tetes-tetes tangis
Hitam yang semakin meluas

Jika ia memang berkata demikian,
Aku menerimanya, tak akan kutepis
Hanya saja jika penyebab getar ini menampik
Mungkin, aku tak sanggup berdiri lagi
_Kamar Kalibata, 22:51, 19 Desember 2011_

Lone


Diri tidak dapat menahan hati,
Jika terluka maka darah itu akan mengalir.
Merah, tapi bukan panas melainkan dingin.

Dingin yang begitu tajam menusuk hingga terasa menyakiti..
Mendengarkan gemeletuk kaca jendela dengan tirai yang bergetar..
Seperti memaksa masuk, sang kegelapan malam..

Untuk sesaat dia terbutakan oleh sinar lampu yang temaram..
Matanya silau,
Merah.
Di keheningan kedua kaki tertekuk, disandar oleh dagu yang bergetar.
Tetes berjatuhan, peluh dingin membangkitkan setiap roma pada tengkuk..
Terkurung dalam ruangan yang luas dan terang.

Hanya diam meratap.
Tak mampu menatap cermin, tahu ia akan menunjukkan kenyataan.
Kau menyedihkan, terkekeh lunglai.
Setiap boneka yang tertata rapi di atas meja terasa jauh. 
Jauh untuk digapai, jauh untuk dipeluk. 
Dan dingin, bahkan sekedar untuk tersenyum.

Menghindari sebuah kandang hanya akan menjatuhkanmu pada sarang.
Tangan menggenggam, mencari kekuatan.
Hati yang telah rusak, tak menemukan seutas ketegaran
Namun masih,
Masih.
Mata ini melihat.
Meski kabur oleh bayang-bayang airmata,
Meski kabur oleh bayang-bayang mereka,
Ia masih melihat.
Melihat tirai yang berombak tertiup angin.
Melihat kehangatan pada sinar yang membutakan.
Melihat cermin.
Bukankah aku adalah kamu yang menyedihkan?
Menatapnya, merasakan getar.
Di setiap aliran darah yang membasahi pelupuk penglihatan.
Menghalirkan listrik,
Berdenyut.

.........
Dan sosok itu menarik garis pada wajah yang muram.
Seutas senyum. Simpul. Tangannya bergerak menggapai.
Mendebam pada lantai, tumpukan kertas. Dan mata itu mulai bekerja.. 
Hingga ruangan sunyi itu kemudian menjadi ramai.
Bukan oleh kehadiran fisik.
Tapi jiwa.
Setiap lembaran terhempas memenuhi udara
Dan sebatang kayu bergerak.
Menari.
Menggores pada halaman putih  yang terluka.
Sesungging senyum, menemani tetes airmata yang tiada berhenti.

Suatu saat ketika aku tidak bisa lagi berkutat dengan buku dan pensil, aku akan memilih untuk mati.

_08.14, 20 November 2011
Kamar Rumah Kalibata_

Goresanku, Segaris Keinginan



Aku melukiskan gores-gores pensil pada selembar kertas putih..
Memberinya noda..
Noda yang terangkaikan menjadi bukti cinta...
Aku menggesekkan karbon pada permukaan tak merata.
Membuatnya mudah dilihat, dibedakan..
Berkali-kali aku menggores
Berkali-kali aku menghapus
Berkali-kali kuperbaiki
Dan aku tersenyum kecil melihatnya,
Tak pernah puas
Goresanku yang berwarna hitam dan putih adalah sebentuk keindahan yang takkan menyaingi kemurnian
Tidak pernah puas akan hasil coret tanganku
Tapi tidak pula menginginkan coret tangan orang lain..
Sesaat kupikirkan mengenai keceriaan..
Menyandingkan hitam dan putihku bersama warna
Secerah mekar bunga di pagi hari dan luas seperti langit..
Tapi tidak,
Aku tidak pandai melukiskannya
Warna itu kacau,
Aku takut mengacaukannya
Biarlah goresku tetap hitam putih

_29 Nov 2011

Temukanlah...


Hidup seperti sebuah buku yang dapat kau tulisi sesukamu. Kau bisa mengisinya dengan tulisan curahan hatimu, gambar-gambar kenangan indah suatu kebahagiaan, atau ilmu-ilmu untuk disimpan dan disebarkan kembali.
Cinta, aku menunggumu. Beberapa kali aku coba torehkan tawa pada buku hatiku, namun semua itu hanyalah palsu belaka. Mereka semua adalah samaran Sang Ego. Ego selalu berhasil mengajakku melakukan ini, melakukan itu. Tidak jarang Cinta Dunia meluluhkan diriku yang mulai hampa. Sedih seringkali mengetuk pintu rumahku, kemudian Tawa mulai tidak terkendali meminta alasan untuknya datang dan memenuhi rumahku.. Cinta, tolonglah aku. Beberapa kali aku mengundang Kagum untuk bermain pada gambar-gambar seorang atau dua orang, berharap ia bertumbuh dan mengundang Senyum. Tapi, yang datang selalu Kepalsuan. Aku menunggu kapan aku bisa menyentuh dan menggandeng tanganmu, sedangkan tamuku begitu banyak dan mereka tidak sering mendatangkan Manfaat untuk sekedar mencicipi teh buatanku..
Aku berusaha, setidaknya aku ingin mengatakan demikian, untuk menolak para Rasa yang datang silih berganti hingga memporak-porandakan rumah mungilku. Padahal, rumahku sudah cukup rapuh dengan ketidakhadiran Prinsip di kamarnya setiap kali Dunia memanggilnya.
Cinta, tolong aku. Aku ingin mengundangmu pada seseorang yang istimewa. Aku ingin menggandeng tanganmu, bukan tangan Ego atau Rasa Bersalah, untuk datang pada rumah-Nya. Aku ingin menghadiahkan kedatanganmu pada-Nya, Pemilik-mu.
Ikhlas seharusnya siap untuk menolongku bertemu denganmu...

Tengoklah Sedikit Dirimu


Derita.
Ya, derita. Ia akan selalu menghampiri, bukan?
Tapi pernahkah kau pikir mengapa ia datang? Pernahkah kau renungi mengapa hanya dia?
Hanya rasa sakit..
Well, kuberitahu. Bukan hanya ia yang datang padamu.
Bukan, bukan begitu.
Tapi kaulah yang membuatnya datang padamu. Mengapa? Karena kamu yang melihatnya sebagai derita. Kamu yang merasakannya sebagai sakit. Perih. Kamu yang lakukan itu. 
Kamu yang memasukkan pikiran negatif pada otakmu. Kamu yang menganggapnya sebagai derita, sedang di kesempatan yang sama kamu bisa saja melihatnya sebagai peluang. Di kesempatan yang sama, kamu harusnya bisa melihatnya sebagai wujud kasih sayang. 
Kamu harusnya bisa melihatnya sebagai kegelapan dalam ruangan, yang ketika lampu menyala, orang-orang membunyikan terompet dan bersorak padamu: kejutan!! Dan seluruh orang akan menghadiahimu senyuman.
Kamu bisa saja demikian, bukan? Setiap manusia punya sebutan masing-masing pada setiap hal yang dijumpainya. Derita hanya kesalahan pada sudut pandangmu saja.
-3 Juni 2011-


Rindu


Getar-getar dalam hatiku menatap setiap senyuman itu..
Kapan, aku dapat melihatnya kembali?
Aku berada di tempat yang jauh, di waktu yang terasa begitu panjang...
Aku bukanlah orang yang pandai merangkaikan kata,, namun aku hanya ingin mengungkapkan warna..
Warna yang sempat terlukis dalam lembar-lembar sketsaku..
Warna yang lembut dan cerah,, yang kuat namun indah,, yang gelap, namun tegas..
Mampukah terlukis kembali?
Keberadaan itu, sungguh sangat berarti..
Aku merindu? Ya, mungkin begitu..
Dan aku tersenyum senang, mengetahui aku masih bisa menatap kembali..
Senyuman itu..
Senyum tulus yang kalian miliki..
Dalam setiap sulit yang kita pernah jalani,, dalam setiap langkah yang kita buru,, dalam setiap lelah yang pernah kita bagi..
Bertemu kebahagiaan, mungkin tepat untuk kuumpamakan..
Bertemu kalian, itulah yang kuinginkan.. 

Selasa, 08 Mei 2012

Takut


Saat pertama kabar sampai di telinga, aku sungguh tak dapat berkata.. Cepat kukuasai diriku, sebab aku tidak benar-benar mengenal mereka yang di sana.. Tapi, kemudian segera merasuk kembali dalam pikiranku.. Aku berharap ini semua hanya suatu kesalahan.. Ya, aku berharap.. Maka kujalani aktivitas pagi seperti adanya.. Hingga aku sampai ke pondok satu lagi, melihat kesibukan dan rangkaian bunga.. Allah, semua itu benar? Sempat terlintas begitu dalam pikiranku.. Hingga aku benar-benar melihatnya, kemudian turut bersembahyang dan mendo'akannya,, barulah aku meneteskan air mata.. Air mata simpatik, disertai sedikit rasa takut yang kutepis berkali-kali.. Allah, Allah, Allah..
Lembaran-lembaran hijab berkelebat di sana sini. Dalam kedukaan akan perpisahan, ada yang bertemu kembali dan ada yang bertemu pertama kali.. Orang hebat, pengantin baru, buah hati, perantauan.. Setiap suara dari ucapan-ucapan, langkah kaki, pengeras suara, dzikir, apapun itu, merasuk ke dalam kepalaku. Aku yang pada dasarnya tidak menyukai keramaian, tidak bisa bertahan di tengah-tengah mereka. Segera pulang. Menepis rasa takut yang tidak jua hilang.
Hingga aku duduk dalam terios memperhatikan jalan, menjilat cokelat yang kini kurasa benar efek penenangnya, sampai aku tertidur, aku benar-benar tidak bisa mengerti apa yang sebenarnya kupikirkan. Atau mungkin aku yang tidak mau mengerti. Mereka menangisi sosok yang berharga di sana, sedangkan aku tenggelam dalam perputaran waktu dan memori, berkelebat bayang-bayang...
Aku terbangun, tepat sebelum roda-roda itu berhenti. Pikiranku kosong hingga aku memasuki wilayah pesantren dalam gurat-gurat mendung siang menjelang sore. Kenapa tidak turun hujan? Begitu bisikku, namun segera kusesali. Dan aku berpikir kembali. Tubuhku merinding lagi... Tak sempat mengikuti prosesi pemakaman, kami pulang. Sedikit membahas kronologis, menatap potret-potret yang menghantarkan sentrum pada otakku. Oke, takkan kutepis lagi. Aku memang takut.
Aku takut. Menerima kabar duka itu, aku takut. Telah lama sejak terakhir kali aku menerimanya. Mungkin hatiku telah bebal terhadap ia yang semestinya terus kuingat. Karena itulah aku menolak kebenaran adanya kabar ini. Aku takut. Menatap iringan itu, aku merinding. Sungguh jarang aku melihatnya. Aku lemas, tapi tahu aku harus berani menatapnya. Bukankah kehadiran sang malaikat terasa dengan adanya iringan itu? Itulah peringatan. Aku takut. Berada di tengah-tengah keramaian manusia. Seolah hanya aku yang merasa takut sedang mereka lebih terpusat pada sesama manusia; seringkali dirinya sendiri. Aku takut.
Allah, aku berlindung hanya kepada-Mu. Aku tahu Engkau merindui hamba-Mu, hamba yag benar-benar mempersembahkan penghambaan kepada-Mu. Allah, aku takut akan pengingat dari-Mu. Pengingat bahwa dunia hanyalah fana. Pengingat bahwa tidak ada yang dapat kubawa ketika namaku dipanggil oleh-Mu Yang Maha  Pemilik Segala. Aku takut meninggalkan keluarga dan teman-temanku, sedang hanya itu yang kumiliki. Tidak, bahkan aku tidak memiliki sesuatu apapun. Engkau-lah pemilliknya. Allah, aku tidak ingin berhenti menyebut nama-Mu ketika keranda itu ditangisi. Aku takut, Tuhan-ku.. Seseorang yang meninggal di sana begitu lembut menerima panggilan-Mu, meski keras tubuhnya tersakiti oleh tabrakan ketentuan yang tak pernah terbayangkan olehku atau orang-orang lainnya. Aku takut, apalah artinya diriku ini. Usia yang memasuki masa produktif, semestinya aku menghasilkan sesuatu untuk-Mu, meski tiada bisa menandingi karunia-Mu. Beliau sudah begitu keras berjuang, begitu berjasa hingga kematiannya ‘kan terus dikenang. Dan aku apa? Pada kematian seseorang yang luar biasa aku menghadapkan wajahku, dan pada kebodohan diriku aku bersembunyi. Maafkan aku, Ya Allah. Jika harus aku merasa takut, demi mengingat-Mu, tak dapat aku berkata selain meminta ampun-Mu…
_21 Mei 2011

Bombay



                Tanganku sibuk menyiapkan wajan, talenan, pisau dan minyak. Kutemukan sekotak tauge di lemari es, disusul kemudian bakso dan daun bawang. Aku mengernyit.
                “Bu, bawangnya di mana? Di dekat tempat beras ataupun kulkas nggak ada,” seruku sambil memunculkan kepalaku di pintu kamar paling kokoh di rumah ini, kamar orangtuaku.
                “Bawangnya ada di lemari di bawah kompor,” jawab ibu, memunggungiku, entah sedang mengerjakan apa. “Satu aja ya Rin bombaynya. Bawang putihnya beberapa saja,” tambahnya ketika aku sudah berbalik hendak ke dapur lagi. “Bawang putihnya dikeprek aja.”
                “Aku ngerti,” ujarku cepat, meskipun telingaku masih menangkap beberapa perintah ibu lainnya. Aku kembali dan menemukan beberapa bongkah bawang putih bersama dengan bawang-bawang lainnya. Saat itu aku tidak begitu tahu fungsi bahan-bahan lainnya. Lamat-lamat aku mulai menghancurkan bawang-bawang putih itu dengan pisau. Ada wangi yang khas menyapa hidungku, aku tersenyum mengingat bahwa wewangian yang seringkali membuatku masuk dapur dan bertanya-tanya “masak apa hari ini?” hanyalah wangi bawang putih yang dirajang.
Saat aku beralih pada bawang bulat berlapis-lapis kehijauan yang basah setelah kucuci, aku menyeringai. Bawang bombay itu terlihat menyegarkan, renyah dan manis, tapi mengerikan. Aku sendiri heran bahwa mengiris bawang itu tidak membuatku meringis dan meneteskan airmata seperti biasanya. Setelah bawang putih itu kurasa sudah cukup harum, aku menunggu lagi sebelum memasukkan bawang bombay. Bukan apa-apa, hanya keisengan belaka. Aku suka mencium baunya.
Sedetik sebelum aku memasukkan bawang bombay itu ke dalam wajan, aku berpikir. Tidak ada wewangian khusus yang melewati penciumanku. Aku melanjutkan dengan bahan-bahan lainnya.
Hari itu adalah pertama kali aku memasak utuh sejak masuk sekolah lagi. Terakhir kali aku membantu ibu atau sekedar iseng membuat sesuatu, aku tidak ingat kelas berapa. Sejak masuk SMA, aku jarang berada di rumah. Duniaku berputar di antara rumah dan sekolah saja, bahkan lebih banyak di sekolah. Kalau diingat, semangat sekali aku aktif di berbagai kegiatan organisasi dan ekstra kurikuler, termasuk OSIS dan Rohis. Memasak seperti ini lebih sering kulakukan saat dauroh, membantu teman-teman yang bertugas menyiapkan konsumsi sebelum materi selesai disampaikan oleh pembicara. Jarang sekali aku memasak di rumah. Kalaupun pernah, itu untuk diriku sendiri. Aku ingat seorang adikku pernah mengiris jarinya sendiri, membuatku tertarik dan memikirkan kemungkinan aku mengiris jariku seperti itu juga. Aku juga ingat temanku yang pandai memasak, selalu mengambil bawang dari tanganku dengan alasan aku terlalu lama mengupasnya. Aku hanya berdecak santai mengingatnya. Biasanya, aku tiba di rumah pada malam hari. Paling cepat, saat Maghrib aku baru turun dari ojek di depan gang rumah. Hari libur aku pergi lagi, entah rapat, mengaji, atau sesuatu seperti itu di sekolah. Rumah menjadi tempat tinggal yang nyaman bagiku, untuk aku beristirahat dan paginya kembali ke medan juang.
Bagamanapun, aku merasa senang bisa memasak lagi hari itu.
Hari-hari berikutnya aku melanjutkan “order” ibu, membuatkan masakan yang sebetulnya aku tahu hanya sedikit di antara keluargaku yang memakannya. Awal liburan sudah kumanfaatkan dengan berbagai kegiatan, maka kali ini aku ingin sekali-kali memasak di rumah lebih banyak dari biasanya. Berkali-kali aku menggunakan bawang-bawang itu, aku mulai terbiasa untuk tidak waspada di hadapan bawang bombay. Tentu saja, sebab beberapa kali aku mengirisnya, sedikit atau banyak, bahkan menyimpannya dan membauinya, mataku masih segar seperti biasa. Aku bahkan lupa berapa takaran yang semestinya kusiapkan, berapa garam yang harus kutabur, saking terbiasanya aku memasukkan seluruh bahan ke wajan. Menunya kurang lebih selalu sama. Sayur itu, bakso itu, sosis itu, telur, masak nasi, tabur lada, semuanya, dan iris bawang. Aku tahu ibu hanya tidak ingin memberatkanku dengan menu macam-macam yang sangat pandai ia siapkan.
Tapi aku paham sifatku, kadang aku ini tidak bisa diandalkan.
Pagi itu, aku bangun lewat dari pagi. Pagi yang sejuk di hari Jum’at. Aku sudah memperingatkan diriku untuk menaruh perhatian pada kajian siang nanti, mempersiapkan kata-kata yang hanya kurangkai dalam kepalaku. Semalam aku membaca hingga larut, menyelesaikan buku yang sudah lama kubeli. Bukan tidak sengaja aku berdiam di kamar, hanya sekadar tidur-tiduran dan memikirkan akan menyampaikan apa pada anak-anak di sekolahku nanti. Setelah menghabiskan waktu, aku sadar ibu sudah memanggil-manggil. Ups.
Aku turun ke bawah dengan berbagai perlengkapan, bersiap untuk pergi. Ibu ada di kamarnya, melakukan sesuatu di depan cermin.
“Masak nasi ya Rin, terus buat sayur lagi. Hari ini daging ikannya..”
“Iya Nanti, mandi dulu” kataku memotong, segera bergegas masuk kamar mandi. Aku benar-benar merasa bodoh, terlena dengan liburan. Sudah cukup aku memasak dan melakukan hal-hal itu kemarin.
Hari ini aku harus fokus pada materi kajianku. Anak-anak itu sudah beberapa pekan ini tidak kutemui, karena merekapun libur. Liburanku bukan berarti liburan dakwah. Ah, aku medapat ide untuk pertemuan nanti. Senyum menghiasi wajahku, seperti anak kecil.
Aku sudah mempersiapkan barang-barang bawaanku di sofa, bersiap untuk pergi. Sebelum itu, aku menghampiri ibu yang sudah terdengar omelannya dari dapur.
Ibu sedang mencuci beras. Aku menghentikan langkahku menuju lemari es untuk mencari sayur, sebab kulihat sayur dan bahan-bahan lainnya sudah terpotong-potong rapi di pinggir wastafel. Aku menyeru kagum, tapi rupanya ibu tidak begitu senang.
“Ibu harus memanggil sampai berapa kali? Anak-anak ibu kok susah banget dimintai tolong. Dipanggil-panggil nggak ada yang jawab. Cuma masak gini aja, kok, nggak ada kesadarannya sedikitpun.”
Eits, aku tahu sifat ibu yang satu ini. Tidak akan berhenti. Oke, aku punya alasan-alasan yang membuatku bisa menganggapi omelan itu, tapi tidak kuucapkan. Aku beralih pada baskom berisi sayur-sayur. “Buat sayur ini lagi, bu? Kemarin dulu aku buatnya kebanyakan,”
“Ambil bawang yang agak besar. Bawang putihnya segini,” jawab ibu datar sambil menggapaikan tangannya ke baskom.
Kurang nih, aku harus bicara lebih banyak lagi. “Aku selalu nggak bisa melumatkan bawang putihnya nih,”
“Pakai batu dong! Pakai pisau memang lemah. Makanya pakai batu, digerus..”
“Iya oke aku ngerti, aku saja yang kerjakan, bu.”
Ibu kemudian membuat adonan tepung, tapi aku tidak begitu melihat apa yang dikerjakannya. Ia memunggungiku dan mulai mengomel lagi. Sesaat, aku mengutuki adikku yang ada di ruang tengah, berharap ia datang untuk membantu atau sekedar menyenangkan ibu kembali.
“Masa mengerjakan ini harus selalu ibunya, apa gunanya punya anak-anak perempuan? Ibu kan mendidik kalian juga, tapi nggak begini. Jangan selalu bergantung sama orangtua,”
Lah dari kemarin aku ngapain? Main boneka?
“Ibu sudah panggil-panggil dari pagi, nggak ada yang turun. Pas satu turun, langsung mandi, buru-buru mau pergi. Nggak boleh begitu,”
Aku mulai melumatkan bawang putih. Hore, lebih lumat daripada biasanya. Kenapa nggak dari dulu aku memakai ulekan batu? Karena aku terpaku pada cara orang-orang yang kulihat sebelumnya, dari ibu sampai teman-temanku, yang melumatkannya hanya dengan pisau. Kali ini, aku belajar satu hal lagi. Tidak seharusnya aku terpaku pada perbuatan orang lain. Jika ada cara yang lebih baik, lakukanlah.
Aku tidak sadar bahwa saat itu aku mulai melamun, sedangkan ibu memperhatikanku.
“Kamu mau ngapain sih ke sekolah?”
Wua, omelannya masih berlanjut. Yah, tapi syukurlah sudah melunak. “Aku ada kajian, hari ini kan hari Jum’at. Nanti aku berangkatnya siang,” tambahku cepat agar tidak terlihat menolak pekerjaan yang sedang kulakukan ini.
“Makanya kalau dipanggil orangtua tuh nurut, bangun yang cepat supaya bisa langsung selesai semuanya,” kembali lagi.
Ibu berbalik dan melanjutkan dengan adonannya. Ada bunyi-bunyian sesuatu membentur sesuatu, serta bunyi riak yang ditimbulkan oleh adonan tepung dan telur, tapi ibu masih memunggungiku.
“Turunnya ketika ada perlu doang. Rumah ditinggal. Anak-anak pergi terus keluar, nggak mengerjakan pekerjaan di rumah. Tapi kalau orangtua yang mengerjakan, semuanya wajar! Karena itu pekerjaan orangtua, anak-anak sih tunggu disuapin aja,”
Lah yang lagi ngulek bawang ini siapa? Jin?
“Kamu tuh nggak boleh begitu, rumah juga punya hak atas kamu,”
Tanganku terhenti sejenak. Aku lalu menyingkirkan serpih-serpih bawang putih itu dan menarik bawang satunya. Duh, betapa kata-kata bisa sangat bermakna.
“Orangtua yang melakukan semuanya, itu wajar kalau anaknya masih pada kecil-kecil, masih bayi, belum bisa melakukan apa-apa! Tapi ini, anaknya perempuan, kok tetap orangtua yang melakukan semuanya? Dipanggil-panggil nggak turun juga!”
 “Enak ya semuanya dilakukan orangtua! Nanti apa jadinya hidup kalian! Memangnya orangtua akan ada terus!?”
Aku tidak menemukan keinginan untuk pergi ke sekolah lagi. Sesuatu dalam diriku memaksaku untuk membuka hati dan mendengarkan, betapapun banyaknya alasan untuk melawan. Wah, apa jadinya kajianku hari ini..
“Nanti kan kalian hidup sendiri. Gimana jadinya kalau ibu sudah meninggal!?”
Prakk! Benar-benar irisan yang buruk pada lapis bombay yang mulai terpecah belah.
“Makan apa kalian nanti? Nggak ada yang masak! Ini juga kalau ibu nggak melakukan ini, nggak ada yang masak!”
Pasti ada. Ibu kan tadi sudah berpesan. Aku akan melaksanakannya begitu ada kesempatan.
“Oh! Gampang ya? Tinggal minta uang aja, beli makan di luar! Kalau orangtua sudah tidak ada, minta uang sama siapa!?”
Mataku menyipit. Mencoba fokus mengiris sama rata. Entah kapan, adikku sudah masuk dan menghampiri ibu. “Ya sudah sini, aku saja yang mengerjakannya.”
Untuk beberapa lama, ibu masih mengomel dan adikku tetap memintanya gantian memasak. Ucapan-ucapan ibu masih sama. Setelah beberapa kali mengomel lagi, ibu meninggalkan dapur. Sesekali keluhannya masih terdengar.
Adikku mengambil kendali. Ia mulai menyalakan kompor. “Sini kak, pakai wajan yang ini.” Ia mempersiapkan wajan satunya untuk menggoreng ikan.
Aku bergeming. Masih mengiris bombay. Dalam kepalaku sudah tersusun kata-kata maaf pada adik-adik di sekolahku. Betapapun salah, betapapun tidak berhubungan, banyak pelajaran yang masuk dari makian ibu, meski tidak ditujukan pada siapapun.
Sial, mataku perih. Sekarang bombay ini seperti mengajak perang. Aku tidak benar-benar punya pelindung gas, kau tahu.
Bombay menyakitkan, jangan membuatku menangis sekarang.

_Kamar Kalibata, 16 Januari 2012, 02.35

Sekular-Sekularisme-Sekularisasi


Beragam masalah timbul akibat sekularisasi dan menimbulkan banyak kekeliruan di kalangan masyarakat, termasuk umat muslim. Penting untuk diketahui bahwa masalah-masalah ini muncul disebabkan oleh masuknya cara-cara Barat dalam berpikir, menilai, dan meyakini sesuatu, pada masyarakat kita. Oleh karena itu, penting pula bagi kita memahami dasar pengertian mengenai hal-hal semacam ini.
Secular, yang berasal dari bahasa Latin saeculum, mengandung suatu makna yang ditandai dengan dua pengertian yaitu waktu dan ruang. Sekular dalam pengertian waktu merujuk kepada ‘sekarang’ atau ‘masa kini’, sedang dalam pengertian ruangmerujuk pada ‘dunia’ atau ‘duniawi’. Karena itu, saeculum bermakna ‘zaman ini’ atau ‘masa kini’ yang juga merujuk pada ‘peristiwa-peristiwa masa kini’. Tekanan makna pada istilah ini diletakkan pada suatu waktu tertentu di dunia yang dipandang sebagai proses sejarah. Konsep sekular merujuk pada keadaan dunia pada waktu, tempo atau zaman ini.
Sekularisasi didefinisikan sebagai pembebasan manusia ‘pertama dari kungkungan agama agama dan kemudian dari kungkungan metafisika yang mengatur akal dan bahasanya.’ (1965:2). Sekularisasi tidak hanya meliputi aspek-aspek sosial dan politik dalam kehidupan manusia, tetapi juga tentunya meliputi aspek kebudayaan, karena sekularisasi bermakna ‘hilangnya pengaruh agama daripada simbol-simbol kebudayaan’.
            Bagian-bagian utama dari dimensi sekularisasi adalah ‘penghilangan pesona dari alam tabi’i’ (disenchantment of nature), peniadaan kesucian dan agama dari politik (disacralization of politics) dan penghapusan kesucian dan kemutlakan nilai-nilai agama dari kehidupan (deconsecration of values). Maka sekularisasi dan sekularisme adalah dua hal yang berbeda. Sekularisasi berada dalam suatu proses yang berkelanjutan dan terbuka (open-ended), di mana nilai-nilai dan pandangan alam (worldview) secara terus menerus diperbaharui sesuai dengan sejarah yang berevolusi. Adapun sekularisme, seperti agama, menayangkan pandangan alam yang tertutup dan faham nilai yang mutlak sesuai dengan adanya maksud akhir sejarah yang menentukan hakikat manusia. Maka, sekularisme memberi maksud sebuah ideologi
 Adapun meskipun ia sama dengan sekularisasi dalam hal menghilangkan pesona dari alam tabii, sekularisme tidak pernah menghapus kesucian dan kemutlakan nilai-nilai karena ia membentuk sistem nilainya sendiri dengan maksud supaya dipandang mutlak dan tidak berubah. Jadi, sekularisme tidak seperti sekularisasi yang menisbikan semua nilai dan menghasilkan keterbukaan dan kebebasan yang perlu bagi tindakan manusia dan untuk sejarah. Karena itulah, ada yang menganggap sekularisme merupakan bentuk ancaman terhadap sekularisasi sehingga sekularisme selalu didesak dan dikekang agar tidak menyebar menjadi ideologi di suatu negara.
Definisi sekularisasi yang menggambarkan hakikat sebenarnya kepada pemahaman kita sangat berhubungan dengan apa yang terjadi dalam kehidupan spiritual, intelektual, rasional, jasmaniah dan material manusia Barat, serta kebudayaan dan peradaban mereka. Akar sekularisasi bukan dalam kepercayaan akan Injil, melainkan dalam tafsiran manunsia Barat terhadap kepercayaaan kitab tersebut. Yaitu ia berakar pada hasil sejarah panjang perseteruan dala filsafat dan metafisika antara pandangan alam (worldview) manusia Barat yang berdasarkan agama dengan yang rasionalis murni. Kesalingtergantungan antara tafsir Injil dan pandangan alam Barat ini berjalan dengan sejarah, dan dilihat sebagai suatu pembangunan.
Dalam pembahasan mengenai sekularisasi, pembahasan agama tidak akan terelakkan. Sebab, agama merupakan unsur dasar dalam kehidupan dan eksistensi manusia, sedangkan sekularisasi muncul seolah untuk menentang agama. Agama diartikan dalam konteks historis dan keyakinan yang bersifat samar, kemudian mereka menerima definisi yang sebenarnya berasal dari otoritas sekular yang telah membudaya. Menurut mereka, agama merupakan sistem kepercayaan, amalan, sikap, nilai, dan cita-cita yang tercipta dalam sejarah dan konfrontasi manusia dengan alam, yang berevolusi dalam sejarah dan melalui proses perkembangan, seperti halnya manusia yang mengalami proses yang sama. Dari sini dapat dilihat, bahwa mereka berpendapat bahwa agama memerlukan perkembangan, seolah agama tidak pernah sempurna sebelumnya. Hal ini berlawanan dengan ajaran Islam yang telah sempurna semasa Rasulullah saw. menyampaikannya. Perlu diingat bahwa Islam selalu sesuai dengan kondisi zaman, Al-Qur’an dapat dimengerti oleh mereka yang menyukai pembuktian ilmiah ataupun mereka yang mengerti dengan kesederhanaan.
Sekularisasi sebagaimana yang didefinisikan golongan Barat, dipandang oleh para penganut teisme di antara mereka sebagai suatu masalah serius bagi agama. Sekularisasi sebagai suatu keseluruhan tidak hanya merupakan pernyataan dari pandangan alam yang  tidak islami, tetapi juga berlawanan dengan Islam.
Kerana Islam merupakan agama yang melewati pengaruh evolusi dan kesejarahan manusia, maka nilai-nilai yang dikandung di dalam Islam bersifat mutlak. Karena itu, Isla memiliki pandangannya yang tersendiri mengenai Tuhan, alam semesta, realitas, dan manusia. Keseluruhan pandangan inipun bersifat mutlak. Islam juga memiliki penafsiran yang tersendiri terhadap realitas, baik dari sudut ontologi, kosmologi atau psikologi.
 Islam memiliki pandangan alam (worldview) dan pandangannya yang tersendiri mengenai Hari Akhirat. Oleh karena itu, Islam menolak secara keseluruhan konsep ‘penghapusan kesucian dan kemutlakan nilai-nilai agam dari kehidupan’ (deconsecration of values), jika diartikan dengan menisbikan semua nilai yang terus-menerus muncul dalam sejarah seperti yang dimaksud dalam sekularisasi. Islam menolak penerapan apapun dalam konsep sekular, sekularisasi atau sekularisme dalam dirinya, karena ketiganya bukanlah milik Islam, melainkan hanya suatu hal yang asing dilihat dari manapun. Sebab konsep-konsep semacam itu hanya cocok dan dalam konteks sejarah intelektual Kristen dan Barat.
Kristen dan Barat seringkali sangat bersandar pada teori-teori dari filsuf-filsif mereka, ahli metafisika, scientist, paleontolog. Antropolog, dan sebagainya. Sedagkan Islam tidak seperti itu. Kebanyakan kaum Kristen-Barat jarang dan bahkan mungkin tidak pernah mengamalkan kehidupan beragama, serta selalu bersikap skeptis, ragu dan terlalu ‘kritis’ hingga tak tertolong lagi.
Ketika Aristoteles memperkenalkan filsafat Yunani kepada dunia Romawi di mana Kristen kemudian merumuskan dan membentuk dirinya sebagai agama Kekaisaran Romawi dan dunia Barat, rasionalisme murni ini beserta naturalismenya melucuti alam tabii dari makna spiritualnya, sehingga kemudian alam hanya dapat dikenali dan dimengerti oleh akal manusia, yang mana merupakan salah satu fator kuat dalam penafsiran pandangan alam (worldview) dalam ajaran Romawi.
Sebenarnya pastilah masih ada filsuf dan ilmu-ilmu filsafat lain yang mengakui kepentingan spiritual dan perenungan intelektualisme atau metafisika dan sebagainya dalam dunia Yunani dan Romawi, juga di berbagai penjuru dunia lainnya, namun konsep-konsep yag dikemukakan Aristoteles inilah yang memegang pengaruh paling besar, sehingga ketika agama Kristen muncul ke muka umum, rasionalisme murni dan naturalisme telah menguasai pikiran dan kehidupan orang-orang Latin.
Apa yang dianggap rasional oleh Islam tidak semata-mata berkaitan dengan  sistematika fikiran dan penafsiran logis mengenai fakta-fakta pengalaman. Karena akal rasional adalah suatu penayangan bagi akal pikiran, maka ia bekerja sesuai dengan akal pikiran, yang merupakan suatu substansi spiritual dan menjadi bagian dari organ spiritual yang dikenal sebagai hati.
Dengan demikian, teolog-teolog Barat telah membuat perbedaan penting antara sekularisasi dan sekularisme, di mana sekularisme adalah nama yang merujuk bukan pada suatu proses, tetapi hasil akhir dari proses sekularisasi ke dalam bentuk tertentu dan khusus, yaitu suatu ideologi. Dan ini tergantung dari bagaimana kita melihat ideologi itu sendiri. Sedangkan, mereka memberikan penafsiran bahwa tidak setiap isme adalah suatu ideologi, karena ia bergantung kepada istilah yang diakhiri dengan isme itu sendiri. Jika isme menjadi akhiran dari kata sekular, kapital, sosial, atau nihil, maka dalam pengertian ini menunjukkan suatu ideologi. Tetapi apabila isme berada di akhir kata real atau rasional, maka bukan pengertian sebagai ideologi yang diberikannya di sini. Maka penggunaan kata seperti demikian perlu kita carmati dengan baik.
Sekularisme ataupun sekularisasi, meskipun berbeda pada pandangan alam yang terbuka atau tertutup dan beberapa hal lainnya yang sebenarnya tidak begitu berarti, keduanya tetap memiliki pandangan yang berbeda dengan Islam, sehingga menunjukkan pertentangan kepada Islam. Meskipun ahli teologi mengatakan bahwa sekularisasi berasal dari dalam kepercayaan Injil dan sekularisme berasal dari dalam filsafat dan sains Barat, keduanya tidak jauh berbeda, bahkan dapat dikatakan keduanya sama karena berasal dari akar yang sama, yaitu filsafat, sains, dan metafisika Barat. Maka, istilah sekularisme tidak hanya merujuk pada ideologi-ideologi sekular, tapi juga mencakup seluruh pernyataan pandangan alam sekular termasuk yang diberikan oleh sekularisasi, yang tidak lain merupakan relativisme historis sekular yang disebutkan oleh penulis sebagai sekularisasionisme.
29 Mei 2011

Kamis, 03 Mei 2012

Selamat Menempuh Hidup Baru

Untuk kakak mentorku tersayang.. Hanya sekedar ungkapan hati..


Lebih dari tiga tahun kami lewati di bawah tanggunganmu..
Berbagi ilmu, kisah dan pelajaran berharga.
Bersama-sama memperhatikan mereka yang datang dan pergi, menyisakan sedikit di antara kita..
Dari titik nol di mana kami yang baru saja menginjakkan kaki,, belajar mengenal satu sama lain, dan belajar mengenal dirimu..
Masa-masa kami tumbuh, melalui berbagai peristiwa dan mengambil hikmah.
Hingga saat di mana kami sibuk membangun diri,, melangkahkan kaki keluar dari lingkungan putih abu-abu..
Kami telah membangun rasa sayang di dalam hati, menanamkannya kuat dalam memori..
Kami, aku, dia dan mereka,, telah begitu percaya akan rasa sayang yang terjalin di antara kita.
Tapi hari ini, telah datang seseorang yang mungkin memiliki cinta yang lebih besar dari kami, walau pasti tidak sebesar cinta Sang Pemilik Cinta.
Menggenapkan sunnah Rasulullah tercinta, kau akan membangun kehidupan baru..
Memiliki tanggungan baru, sedangkan kami sudah harus berjalan sendri..
Hanya do’a yang terucap, meminta agar Allah,, agar Dia yang telah menuliskan namamu dan namanya di Lauhul Mahfudz,, kian mencintamu di bahtera rumah tangga kehidupan yang baru.. Kami, menatap wajah bahgiamu, hanya tersenyum... J